Dari Gulanomics Kotabaru Yogja, Desak Perubahan Perkotaan Indonesia Forever
Otoritas kota tak bisa mengabaikan kebutuhan dasar, fasilitas sosial, dan pelayanan publik yang layak terjangkau.
Oleh: Muhammad Joni *)
JAKARTA, KabarProperti.id – Usah didesak, cak. Almanak 2023 auto-usai, periodenya selesai. Diksi selesai lawannya selamanya: forever! Desaklah perubahan hidup 2024. Sindiran ‘hidup bukan sekadar hidup’ dipetik dari ajaran Buya, dan metaphor ‘kera juga bekerja’ dari seloka HAMKA.
Istilah Buya artinya ayah; abah, yang dilafazkan orang Minang untuk sang cendikia-cum-ahli agama mentor menuntun bangsa, seperti kiyai di tanah Jawa.
Buya HAMKA sastrawan yang menulis novel ‘Tenggelamnya Kapal Van der Wijck’ (1938), juga ‘Merantau ke Deli’ (1939). Cuplikan film ‘Kingdom of the Planet of the Apes’ (2024) mengekspos tabiat Proximus turunan Caesar, sang raja kera yang hampir menguasai planet manusia.
Menuntun lagi rute Jakarta-Yogjakarta-Jakarta di penghujung 2023, bola mata saya hidup. Pikiran saya berjalan. Hendak memburu pidato perubahan sese-abah nasional –yang pernah sekolah di SMPN 5 Yogja (1982-1985).
Datang ke kota itu, saya menghayati sejarah pertempuran Kotabaru (battle of Kotabaru) yang menenggelamkan “kapal” kekuasaan Jepang, 7 Oktober 1945.
Dituntun merantau kepada tarikh istimewa Yogja, amba mengendus harum semangat juang orang generasi muda belia dan sengat bau mesiu imajiner dari magazijnen van orlog (gudang perang) manakala melintasi Kotabaru (Jawa: ꦏꦺꦴꦠꦧꦫ), melipir Jalan Sunaryo ke depan Masjid Syuhada, bergeser sedikit ada kantor LKBH FH UII, melempar pandangan mata ke watas Kali Code. Hamparan dan suasana kota taman masih terasa tatkala menelusup masuk ke ceruk-lekuk Kotabaru, satu proyek yang dikerjakan Department van Sultanaat Werken.
Lagu KLa Project berjudul ‘Yogjakarta’ terasa manis di memori, liriknya healing hati yang tak terobati. Itulah istimewanya, entah Yogjakarta, entah lirik KLa; bisa jadi keduanya. “Pulang ke kotamu/ Ada setangkup haru dalam rindu/ Masih seperti dulu/ Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna”. …“Ijinkanlah aku untuk slalu pulang lagi/ Bila hati mulai sepi tanpa terobati”.
Balik ke zaman ketika Jepang berkuasa, Kotabaru dijadikan markas militer. Sampai tiga bulan usai proklamasi yang masih muda, Jepang tidak auto hengkang, tidak segera terjadi pemidahan kekuasaan –dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Tangsi militer Jepang masih menderu di Kotabaru. Pasukan badan keamanan rakyat bersemangat mengambilalih kawasan itu. Berjuang dengan strategi ganda; merundingkan alih kuasa tanah Kotabaru pada 6 Oktober 1945. R.P. Soedarsono mendesak agar Butaitjo Mayor Otzuka menyerahkan senjata ke pihak Indonesia.
Sementara gejolak di medan juang aksi rakyat tak sabar melucuti senjata militer Jepang. Gagal berunding, pejuang menyerang Kidobutai terjadilah pertempuran Kotabaru, pada 7 Oktober 1945.
Dar der dor. Tentara Jepang kewalahan dan dipaksa menyerah. Tercatat 21 orang serdadu remaja menjadi syuhada: I Dewa Nyoman Oka, Ahmad Jazuli, Supadi, Faridan M. Noto, Bagong Ngadikan, Suroto, Syuhada, Sunaryo, Sajiono, Sabirin, Juwadi, Hadidarsono, Sukartono, Johar Nurhadi, Sareh, Wardhani, Trimo, Akhmad Zakir, Umum Kalipan, Abubakar Ali, dan Atmosukarto.
Masjid Syuhada di ujung Jalan Sunaryo menjadi pengingat pertempuran Kotabaru yang menenggelamkan pendudukan militer Jepang di Yogjakarta.
Jauh sebelum Kotabaru direbut dari Jepang, kawasan itu dikembangkan dari kausal manisnya gula; dan opendeur politiek. Bermula politik pintu terbuka (opendeur politiek) awal 1920an, pemerintahan kolonial membuka pintu investasi bagi bangsa lain nonBelanda ke wilayah Hindia Belanda. Dan, derap opendeur politiek itu pun tumbuh di zelfbestuur: Sultanaat Yogjakarta –yang penuh selaksa makna.
Dari bahasa Belanda, zelfbestuur artinya pemerintahan sendiri a.k.a berdaulat. ‘Zelfbestuur’, judul pidato Haji Omar Said Tjokroaminoto di Bandung (1916).
Dari politik modal terbuka itu menjadi muasal berseminya perkebunan tebu dan pabrik gula di Yogja, sebut saja: Pandokan, Pundong, Pleret, Barongan, Gesikan (Bantul), Demak Ijo, Salikan, Kalasan, Tanjung Tirto, Beran, Godean, Medari, Cebongan (Sleman), Sewugalur (Kulon Progo).
Menyusul cuan zaman keemasan gula Yogja, Belanda membangun Kotabaru –di lahan yang sebelah timur Kali Code, sebelah utara stasiun Lempuyangan.
Yogjakarta nyata bermakna Yogja yang kerta (artinya: makmur). Ngayogjakarta nama yang diberikan Paku Buwono II, pengganti nama pesanggrahan Gartitawati.
Dari Kotabaru, Kemantren Gondokusuman dari hasil karya arsitek Thomas Karsten (1884-1945), lulusan Universitas Teknologi Delf yang merantau ke Jawa dengan banyak karya penanda kerta tanah Jawa, saya membuat catatan perubahan. Proyek Kotabaru menandai efek turunan devisa gula yang membangun kota.
Rancangan Karsten melengkapi Kotabaru yang berkonsep kota taman (garden city) dengan infrastruktur sosial yang diperuntukkan bagi elit warga bangsa Eropa yang mendatangi manisnya hidup Yogja, menyusul pembukaan kebon tebu dan pabrik gula sehingga ekonomi berjaya dan kerta.
Pelaksanaan pembangunan digarap Department van Sultanaat Werken yang dikomandoi Ir. L.V.R. Beekveld. Kiranya, dari “gulanomics” maka ada “kotanomics” –yang kini lazim disebut urban economics.
Menelisik musabab membangun Kotabaru, aha.., ada jejak imajiner menarik yang mirip dari tarikh Jacob Nienhuys (dengan kolega Arabnya) yang merantau ke Deli, membuka kebon tembakau, dan dibangunnya kota baru moderen.
Interupsi sebentar. Ini tambahan narasi. Nienhuys pengusaha Belanda pergi ke Deli tahun 1862. Dia beruntung mendapat konsesi tanah dari daulat zelfbestuur Sultan Deli (1863), mendirikan perusahaan de Deli Maatscapaij (1866), hingga berkembang 22 perusahaan kebon (1875). Dan seterusnya, akibat surplus devisa hasil kebon tembakau Deli yang berjuluk ‘pohon berdaun emas’ yang laris dengan harga tinggi di pasar Eropah.
Jurnalis-cum-lawyer Mr. J. van den Brant menerangkan ‘De Millioenen uit Deli’ ke dalam (Deli Courant, 1902) dari sisi berlawanan dan minor; dari narasi ironik kuli kontrak.
Efek harumnya devisa tembakau, muncul desakan kebutuhan hunian baru, maka dirancang dan dibangun kota baru yang moderen bergaya Eropah. Itulah kota Medan sekarang, bung. Titik nol kota Medan bernama Esplanade (sekarang Lapangan Merdeka) dibangun 1880an, dan tumbuh berbagai fasilitas insfrastruktur kereta api, bank, hotel, kawasan bisnis Kesawan, rumah sakit deli maatschapij yang dibangun moderen (1915). Medan menjadi kota bisnis yang harum ternama ke penjuru dunia melalui bursa tembakau Bremen di Jerman.
Entah mengapa sekarang dikecilkan menjadi hanya ‘Kitchen of Asia’, rumah sakit tembakau deli berhenti operasi (2011), wajah kawasan Kesawan menua. Inikah gejala degeneratif kota baru yang merenta, yang harumnya tak lagi berkelanjutan?
Mencerna pola relasi tanah, tembakau dan kota itu, saya mencatatkan postulat, bahwa: dari geliat perkebunan tembakau dibangunlah kota baru; dari harumnya “kebonomics” kepada cuan urban economic. Setangguh apa bertahan menjadi kota berkelanjutan?
Interupsi selesai. Memori Yogja kembali datang. Jejak Kotabaru yang kini menjadi heritages cagar budaya provinsi itu masih ada. Tidak bisa diboyong Belanda balik ke negeri bawah lautnya. Itu warisan benda yang nyata, bisa diraba, berstatus aset komunitas-subsider-benda tidak bergerak, dan menjadi “guru” sejarah, yang wujudnya antara lain: jaringan kereta api, listrik, telepon, kantor asuransi, perbankan, hotel, gereja, rumah sakit, dan sekolah.
Kausal ekonomi gula juga membuat aturan hukum. Regulasi pembangunan kota pun terbit dengan Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta No. 12 Tahun 1917 yang terdiri dari 11 bab. Isinya mengatur pemberian lahan, wewenang mendirikan bangunan, jalan, taman beserta perawatannya dengan ketentuan yang diatur oleh pihak kasultanan.
Saya masih berjuang sengit untuk memperoleh naskah salinannya, mungkin pembaca bisa membantu Rijksblad 12/1917 itu. Karib saya Sami Kandha Dipura, akademisi di Yogja berjanji memburu dokumen sejarah Rijksblad Kotabaru yang diduga kaya pelajaran hukum tata kota.
Rupanya aturan membangun wilayah dan tata kota sudah ada sejak zaman Rijksblad. Itu membuktikan rezim hukum penataan kota sudah eksis lama, seperti halnya otoritas Hindia Belanda juga membuat SVO (Stadsvorming Ordonantie). Langkah mundur jika Indonesia masih belum memiliki UU Pembangunan Perkotaan.
Kotabaru itu dibangun selayaknya kota moderen dengan kawasan hunian-kota Nieuwe Wijk yang menyediakan akses bulevar dan jalan-jalan arteri. Situs magazijnen van orlog, saat ini beralih fungsi sebagai hunian namun bentuk bangunan kompi masih dipertahankan.
Arsitektur Kotabaru karya Karsten itu menyediakan fasilitas olahraga (kini Stadion Kridosono), fasilitas sekolah Algemeene Middelbare School (AMS) (kini SMA Negeri 3 Yogja), Christelijke MULO School (kini SMA Bopkri 1). Juga, Normal School (kini SMP Negeri 5) –yang berlabel akronim Pawikitra (Panca Wiyata Bakti Karana) yang diramu dari 4 diksi ini: Panca bermakna lima, Wiyata bermakna pendidikan, Bakti bermakna berbakti, dan Karana bermakna tempat. Kotabaru lengkap dengan fasilitas Rumah Sakit Petronella (kini Rumah Sakit Bethesda), dan lainnya.
Ohya, barusan saja lokasi Kotabaru Timur –yang berisi fasilitas transportasi, pendidikan, kesehatan, keagamaan, militer, dan ruang terbuka hijau, yang terdiri 38,2 hektar dengan 13 Bangunan cagar Budaya– telah absah dilindungi sebagai Cagar Budaya Peringkat Propinsi dengan terbitnya Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogjakarta Nomor 63/KEP/2023 tertanggal 1 Maret 2023 yang ditandatangani Hamengkubuwono X.
Beberapa situs Kotabaru itu sempat kami kunjungi, perlahan masuk melewati Jalan Sunaryo (dulu Merapi Laan), ke Mesjid Syuhada, menengok tepi Kali Code dari sisi Jalan Prau, berputar balik ke pertigaan yang di sudutnya mentereng restoran khas Jawa House of Raminten yang ramai sekali, agenda yang tak sempat disinggahi.
Saya hanya berdiri, karena ora nekat dicap tak etis menerobos antrian pelanggan yang ramainya berkelanjutan.
Dari jejak dan corak membangun Kotabaru dan Deli itu, diperoleh pelajaran betapa kota baru terbit karena ada geliat agroindustri: manisnya gula dan harumnya tembakau penghasil devisa yang menjulangkan angka pertumbuhan ekonomi.
Gula dan tembakau yang menjadi kausal kota baru, bukan sebaliknya membangun kota baru (ataupun ibukota baru) lebih dahulu, baru menyeru mengajak datang investor baru. Ada gula maka ada kota. Beda dengan ada kota maka ada gula. Lantas, apa “gula” untuk harumnya 40 kota berkelanjutan? Berdiri di dekat House of Raminten di pangkal Jalan Soenaryo, dalam diam saya mengajukan satu pertanyaan: “buya”, apa agenda menuntun perubahan kota bekelanjutan?
Dari kota merenta ke agenda perubahan kota
Majelis pembaca yang bersemangat. Dari narasi itu, pikiran awam saya berjalan ke data dan lanjut ke jemari. Ketika jemari menghentakkan ketikan ini, diam beberapa jenak, mengoreksi diksi, dan mengulang hentakan baru demi kalimat baru –yang mungkin saja goyah, banyak celah untuk dibantai, didesak, bahkan direpeti. Namun dengan semangat seakan ‘No Limit’ bersiap lapang akal menampung kritikan, antitesis, pun wasangka, demi memetik ranumnya buah pelajaran hal-ikhwal perkim-perkotaan yang berkelanjutan.
Silakan melancarkan koreksi atas paragraf berikut ini, bahwa: kota-kota memang dibangun (dan terbangun) karena dibutuhkan ataupun tumbuh meruyak menjadi lingkungan baru, dengan atau tanpa (aturan) perencanaan urban dan teritorial yang tumbuh mengkota, bagaikan organisme bernyawa di suburnya belantara kota. Yang di satu sisi menumbuhkan “gula” dalam geliat ekonomi urban, dan disisi lain tak luput beban-beban angka demografi yang trennya meninggi, dan diserbu urbanisasi tak selalu produktif.
Namun otoritas kota tak bisa mengabaikan kebutuhan dasar, fasilitas sosial, dan pelayanan publik yang layak-terjangkau atas akses pekerjaan, perumahan, kesehatan, lingkungan sehat, transportasi, pendidikan, indeks kebahagian warga kota yang naik kelas sampai No Limit, pun ruang bermain ramah anak, hijau dan terbuka yang lega-nyaman leluasa bepergian ke mana saja bagai cerita “naik delman keliling kota”.
Namun, sekeras apapun beban yang ditanggung kota yang mengkota itu, tidak etis jika diabaikan tanpa intervensi, apalagi ditinggalkan. Stagnan tanpa asa keberlanjutan, tak ada UU Pembangunan Perkotaan, yang seakan hendak membiarkan kemunduran.
Walau kota-kota nyaris semua buatan era Hindia Belanda yang dirancang bagus, namun sahih jika otoritas negara dengan sangat dan sengit mempertahankan kota-kota itu menjadi kota yang terus hidup elok dan berkelanjutan.
Tak elok jika kota yang dibangun hanya fisiknya namun alpa dengan jiwa yang menyertainya, karena itu sahih jika kota dan daya dukungnya dimaslahatkan dengan agenda perubahan kota. Bukan membiarkannya menjadi kota yang merenta, terseok sarat beban, atau sekadar memformalkan beberapa situs menjadi heritages cagar budaya tanpa sentuhan berkelanjutan. Yang bernasib lebih baik sedikit dari bangunan daripada kota-kota lama yang nyaris ditinggalkan tanpa status heritages, yang kalah melawan minat otoritas kota menyukai kapital yang berhasrat pada laba atas nama pendapat asli daerah, dan membangun kawasan baru lagi, walau hanya perkumpulan rumah toko (ruko) dan rumah kantor (rukan) sahaja.
Memotret Degeneratif Kota-Zelfbestuur
Pembaca, ijinkan tulisan ini mengajak ke Langkat. Tengoklah kota Tanjungpura, 60 kilometer dari Medan yang terkesan stagnan. Nyaris hanya menambah ruko dan rukan yang jauh dari ikhtiar terencana meremajakan kota berkelanjutan.
Padahal kota itu pernah jaya sebagai ibunegeri zelfbestuur Kesultanan Melayu Langkat –yang kaya hasil devisa tambang minyak mentah.
Di jantung kota itu, Masjid Azizi dan kampus maktab “puteh” Jamaiyah Mahmudiyah didirikan tahun 1912 atau sepuluh tahun sebelum berdiri Taman Siswa (1922). Kampus itu dinilai lebih hebat dari sekolah Belanda dan sekolah misionaris Jerman.
Dari maktab Jamaiyah itu telah mencetak jamak tokoh nasional diantaranya penyair Tengku Amir Hamzah, mantan Wakil Presiden Adam Malik, pendiri ICMI Bang Imaduddin “Bang Imad” Abdul Rahim, ahli fiqih Prof. Abdullahsyah. Kota kecil yang ibu negeri Kesultanan Melayu Langkat dahulu, bisa dibangun dari surplus ekonomi karena devisa minyak bumi dan kebunnya. Bukan sebaliknya, membangun kota untuk mendatangkan devisa.
Ataupun, periksalah kisah kota minyak Pangkalan Brandan menjadi kota yang terseok karena tak berminyak lagi. Di kota itu pernah terbangun kilang minyak paling mula dari sembilan kilang minyak di Indonesia.
Tahun 1883 ditemukan sumur minyak pertama era sebelum kemerdekaan, tepatnya di Telaga Said (kini Kecamatan Sei Lepan, 110 kilometer barat laut kota Medan). Kilang minyak itu kebetulan saja ditemukan warga Belanda bernama Aeliko Janszoon Zijlker, ahli perkebunan tembakau kompeni Deli Tobacco Maatschappij. Bekerjasama dengan perusahaan Belanda kala itu atas izin Sulthan Musa yang berkuasa di Kesulthanan Langkat.
Tahun 1891 mula diproduksi hasil minyak bumi dengan kontrak kerja Sulthan Musa dengan perusahaan Koninklijk Nederlandsche Maatschappij.
Kota minyak Pangkalan Berandan –yang dulu dibawah zelfbestuur kesultanan Langkat— sempat berjaya dalam siklus kota tambang. Kota kecamatan itu memiliki padang golf Lagan Hill, kolam renang dan lapangan bola molek yang menjayakan Persatuan Sepakbola Langkat (PSL), sasana tinju kuda laut yang meroketkan petinju nasional. Fasilitas rumah sakit Pertamina yang canggih dan lengkap dokter ahli. Pun fasilitas kesehatan, pendidikan, sosial dan infrastruktur lebih awal tersedia dibanding kota Medan. Gemilang kejayaan ekonomi kota minyak Pangkalan Berandan masih terkenang bagi sesiapapun warga Langkat yang juga merasakan pengaruh berkah kota minyak itu.
Bagaimanakah Pangkalan Berandan kini? Julukan kota minyak kepada kota itu tinggal kenangan. Kikisnya aliran migas dari perut bumi Langkat membuat Pertamina menutup unit pengolahan minyak di sana. Hanya water treatment dan genset yang beroperasi disana, semua peralatan diposisikan dalam keadaan stand by. Perumahan karyawan ditinggalkan tidak berpenghuni. Asetnya pun sudah dilelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan lelang Cabang Medan. Warga lokal menghibur diri secara satir, “Pangkalan Berandan Layak Miliki Museum Pertamina”, seperti dikutip media online Republika, 24/09/2014.
Dua paragraf ini menguncah emosi penulis yang pada masa kecil sempat menyaksikan kejayaan kota dengan kilang minyak pertama di republik. Mungkin nasibnya bak pepatah Melayu: “habis manis sepah dibuang”. Pergi devisanya, merenta kotanya.
Belajar dari tiga kota dari latar kebon, tambang dan zelfbestuur itu, maka perlu sentuhan keadilan perkotaan, dalam desak perubahan perkotaan berkelanjutan.
Kiranya, beralasan merestorasi kota-kota yang berjasa dan milik Republik kini, yang daftarnya lebih banyak lagi dari 40 kota. Namun atensi kepada perubahan 40 kota itu kabar keadilan untuk menghidupkan kota-kota. Agaknya bisa disusun asumsi permulaan bahwa kota-kota –yang merenta walau dulunya kota-kota baru –yang manis, wangi, berminyak dan kerta-nya tumbuh moncer– menghadapi dua kenyataan yang menindihnya. Yaitu, di satu sisi kota disergap omisionis atau pengabaian bahkan degeneratif raga pun jiwa kota –yang minus peremajaan dan perlindungan cagar budaya, yang bahkan kerap terbiar menjadi kawasan kota yang menua.
Namun di sisi lain kota-kota itu dihimpit sengitnya agresifitas kapital merebut inci demi inci ruang-spasial demi kawasan probisnis, dan menjadi kota yang tumbuh mengkota namun tumbuhnya acak tanpa corak, tanpa tuntunan sang “buya” perkim-perkotaan. Beban dan tantangannya bukan hanya wajah kota, namun tubuh kota yang tumbuh sehat, dengan warga yang sehat, dengan lingkungan yang sehat, dengan kerta yang sehat, dengan kebijakan kota yang sehat.
Dengan modal SDGs pilar pembangunan lingkungan, utamanya tujuan 6, 11, 12, 13, 14, dan 15, misalnya: indikator layanan air minum yang dikelola secara layak, layanan sanitasi yang dikelola secara aman, proporsi limbah industri yang dikelola secara aman.
Ataupun indikator, misalnya: proporsi populasi penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh, permukiman liar, atau rumah yang tidak layak huni; indikator akses hunian yang layak dan terjangkau, akses yang nyaman transportasi publik.
Segenap indikator dari dokumen SDGs Indonesia itu merupakan perkakas kebijakan publik yang andal menjadi batu uji pencapaiannya, karena itu diperlukan transformasi dari tujuan, target, dan indikator yang direalisasikan efektif dalam delivery-nya. Dari dokumen ke pencapaian.
Membaca data misalnya hunian yang layak dan terjangkau dengan masih tingginya angka backlog hunian (12,7 juta), kawasan kumuh perkotaan dan rumah tidak layak huni, menjadi alasan mendesakkan perubahan perkotaan berkelanjutan.
Guna menghindari kota yang diabaikan dan merenta, dengan tubuhnya dibelah, dagingnya dikerkah untuk untuk survival kota dan hajat hidup warganya.
Seperti metafora sapi dalam sepotong pidato ‘Zelfbestuur’ dari Tjokroaminoto: “Darahmu dihisap dan dagingmu dilahap sehingga hanya kulit tersisa”.
Agar kota-kota kita tidak dihisap tinggal hanya kulit tersisa, bijaksana jika mengambil alih nasihat UN HABITAT yang menyerukan integrasi kesehatan publik atawa kesehatan perkotaan ke dalam kebijakan pengembangan urban dan territorial.
Problematika kesehatan perkotaan defacto lebih krusial daripada kesehatan masyarakat. Dan tentu saja kesehatan perkotaan memberi sumbangan penting bagi kesehatan perorangan.
Derajat kesehatan warga berkorelasi tinggi erat dengan kesehatan perkotaan. Derita sakit pernafasan (respiratory illnesses), infeksi, malaria, bahkan kanker, tuberculusis, pun COVID-19 adalah beberapa contoh penyakit menular yang menjadi pelajaran penting menjawab kesehatan perkotaan itu.
Seakan kota itu organisme bernyawa, sang kota –as it is sebagai ramuan kawasan buatan dan lingkungan alam– yang butuh atas oksigen untuk bernafas dan kesehatan dirinya. Karena itu, hak setiap orang (warga) yang hidup bersama dalam hunian tempat tinggal layak dengan lingkungan sehat yang secara teknis disebut kota, memenuhi elemen ori dari hak konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Kiranya, tidak keterlaluan jika nekat menakwilnya sebagai “konstitusi perkotaan” –yang diulas dalam pada lain kesempatan.
Untuk menjawab persoalan kesehatan yang menghimpit perkotaan pun perumahan, maka pemerintah mestinya menyegerakan integrasi kebijakan kesehatan ke dalam urban and territorial planning. Agenda, respon, kebijakan yang terserak dan kerap lamban dalam eksekusi-delivery patut diangkat lebih tinggi dan menjadi bagian dari pemenuhan amanat konstitusi perkotaan-cum-garis politik perubahan perkotaan.
Dengan dua pangkalan itu, maka respon dan kebijakan –yang acap rumit dalam eksekusi berpeluang dimajukan. Menjadi pangkalan perubahan perkotaan Indonesia forever, ya.. pangkalan yang meluncurkan agenda yang terkendala dalam delivery-nya, ya.. sebut saja apakah itu: Santasi Perkotaan Beketahanan Iklim, The Safer Cities Programme, Sustainability the Cities and Communities, New Urban Agenda, city for all, perumahan layak dan terjangkau, rumah sehat produktif, pembiayaan perumahan yang terjangkau untuk semua –yang menjawab pertanyaan satir ‘kapan punya rumah’.
Kiranya terang benderang narasi mengapa paragraf opini ini mendesakkan perubahan perkotaan berkelanjutan itu mandatori konstitusi yang diikat menjadi direktif Presiden.
Merestorasi hak hidup kota berkelanjutan
Kring…, kring…, telpon selular saya berdering. Panggilan dari Ketua The HUD Institute, Zulfi Syarif Koto, sosok itu bagai “buya” penuntun untuk khazanah perkim-perkotaan. Sepanjang karier sebagai birokrat-cum-teknorat dan pasca kariernya dalam wadah The HUD Institute, diabdikan untuk perkim-perkotaan.
Pak HUD Zulfi yang fasih bertutur soal perumahan rakyat dan pembangunan perkotaan itu adalah satu dari sosok disebalik inisiatif UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Kawasan Perumahan dan Permukiman. Zulfi yang tak kendur semangat tatkala “bertempur sengit” membela hak hunian kaum miskin papa dan masyarakat berpenghasian rendah (MBR). Katanya, penting kolaborasi pemenuhan hak atas kebutuhan dasar rakyat atas hunian dalam transformasi pembangunan perkotaan, ketika kami mendiskusikan intervensi kebijakan kesehatan publik yang berarsiran dengan public housing ke dalam perencanaan kebijakan urban dan wilayah.
Tele-diskusi antara Ciputat-Yogja itu menajamkan agenda The HUD Institute meluncurkan klinik kesehatan perkotaan sebagai proyek piloting 2024 dan tasyakuran ke-13 tahun deklarasi The HUD Institute, tanggal 14 Januari 2011.
Ini sekadar tambahan cacatan perjalanan 13 tahun The HUD Institute yang banyak perkembangan dalam auto-pertukaran pemikiran, pemajuan, literasi dan ikhtiar advokasi kebijakan publik serta regulasi perumahan dan pembangunan perkotaan yang terus menerus menghadapi tantangan yang perlu dijawab dengan transformasi tata kelola.
Termasuk surplus pengalaman berharga tatkala memerangi pendemi COVID-19 yang memberi hikmah dan ketangguhan jurus dan kebijakan serta pengelolaan urusan perumahan dan perkotaan berbasis data dan bukti, sehinga patut mengintegrasikan kebijakan public health dan public housing ke dalam perencanaan urban dan teritorial menjadi agenda transformasi perkotaan.
Gagasan dan terobosan pemikiran pentingnya mengintegrasikan public housing dan public health termasuk public transportation ke dalam paradigma transformasi perkotaan sudah disodorkan The HUD Institute mengenai ‘Rumah Sehat Produktif’ yang patut dikembangkan.
Kembali ke tele-diskusi dengan Pak HUD. Membayangkan persenyawaan publik antara housing, health, dan lainnya ke aras urban, sontak pikiran saya bergetar. Bola mata saya bersinar memulai debut kolaborasi antara kesehatan, perumahan, dan perkotaan yang absah dan strategis karena termasuk trio urusan konkuren pelayanan kebutuhan dasar yang melekat pada pemerintah dan pemerintah daerah dalam kerangka UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Saya sempat membaca dokumen 2020 bertitel: ‘Integrating health in urban and territorial planning’, yang diterbitkan kolaborasi UN HABITAT dan WHO, dan mengamini postulat WHO bahwa: ‘The most important asset of any city is the health of its people’. Eureka, semua kota kudu dilayakkan, apapun jenis dan tipenya, bukan hanya 40 kota-kota saja.
Majelis pembaca. Nilai kota-kota itu terlalu berharga bagi Wiyata, Bakti, dan Karana kehidupan kota manusia. Dan, tempat melekatkan ingatan dan tetirah sejarah perjuangan kota. Tersebab kota bukan hanya hunian, namun tamadun kemanusiaan. Bijaksana jika menjadikannya agenda perubahan kota berkelanjutan yang analog New Urban Agenda.
Dengan bekal kausal halal negara dan dalil “konstitusi kota”, mengapa tidak mendesakkan kebijakan perubahan itu? Tentu dengan menyediakan semacam “opendeur politiek” ruang fiskal APBN bagi infrastruktur dasar dan fasilitas publik penyangga kelayakan dan kesehatan kota, dengan menggeser sedikit fokus infrastruktur komersial padat modal yang masih bisa ditunda. Berikut investasi komersial a.k.a kerjasama pemerintah badan usaha (KPBU), public-private-partnership sebagai gulanya, tentu dalam takaran yang sehat, model bisnis yang terkendali demi menjaga indeks kemahalan kota yang bisa memangsa warga tidak tinggi daya bayarnya.
Itu ikhtiar menjadikan kota-kota publik sebagai kota manusia, bukan kota kera yang bengis dan otoriter dengan kelakuan Proximus turunan Caesar kepada species manusia dalam film ‘Kingdom of the Planet of the Apes’. Sebagai metafora “tuan kota” yang merebut ruang spasial, memakan tanah komunal, mengacak ruang sosio-kultural sehingga tersaringnya warga pendahulu kota: native-born citizen, pun tersisihnya migran yang tak berdaya.
Bukankah kota publik bertugas memberdayakan warga dan mengemban misi kota berkelanjutan, bukan kota yang kelebihan beban –seperti penyebab tenggelamnya kapal Van der Wijk.
Beranjak dari kota untuk semua, saatnya merestorasi kota-kota milik republik yang merenta, menjadi perubahan perkotaan berkelanjutkan. Membela hak kota untuk terus hidup, tumbuh, berkembang –dalam Negara Republik Indonesia Forever!
Tak elok pergi membiarkan kota-kota yang berjasa itu merenta, bagai pepatah habis manis sepah dibuang. Tahniah hari jadi ke-13 “buya” The HUD Institute, terlahir untuk menuntun kesejahteraan perumahan dan perkotaan. Tabek.
*) Muhammad Joni, S.H., M.H., Sekretaris Umum The Housing and Urban Development (HUD) Institute; Advokat Law Office Joni & Tanamas; Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (IKA USU) 2022-2026, penulis buku ‘Ayat-Ayat Perumahan Rakyat’ (2018), dan ‘Ayat-Ayat Kolaborasi Jakarta Habitat’ (2022), opini ini pendapat pribadi.