Kejahatan Paripurna : Bencana Sumatera, Selimut Kosmik, dan Negara yang Absen
Oleh : Muhammad Joni, SH., MH.; Advokat, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia, Sekjen PP IKA USU, Majelis Pakar MN KAHMI

JAKARTA, KabarProperti.id – Pada mulanya, Sumatera tidak sedang marah. Ia hanya luka. Luka itu tidak jatuh dari langit bersama hujan.Ia tumbuh pelan—seperti rayap di rumah tua— diam-diam, dibiarkan, bahkan disiram izin.
Pertanyaannya bukan lagi: apa yang terjadi? Melainkan: apakah yang sedang “menjadi” (being) dari bencana ini?
Barangkali, kita perlu mata yang lain. Bukan sekadar mata kamera drone, melainkan mata batin; mata yang sanggup menyingkap semesta sebagai satu kesatuan agung.
David Bohm menyebutnya the implicate order: alam semesta bukan serpihan, melainkan satu sistem tunggal yang saling terhubung oleh nasib yang tak kasat mata. Jika satu simpul disobek, seluruh kain kosmik bergetar.
Presiden Prabowo memerintahkan dari kejauhan: “Tertibkan pembalak hutan!” Artinya: tindak!
Sementara Chazali H. Situmorang—mewakili emosi publik yang telah mendidih—berteriak lebih jujur: “Deforester keparat!”
Lalu Polri menyebut: satu tersangka. Satu nama. Satu untuk korban jiwa seribuan?
Namun bencana ini terlalu besar untuk satu orang. Terlalu rapi untuk kebetulan. Terlalu lama dibiarkan untuk disebut musibah.
Tidak ada wajah yang ditunjukkan ke publik. Tidak ada transparansi sejak menit pertama.Dan negara—seperti biasa—berbicara lirih ketika semestinya berteriak.
Wahai negara. Wahai semesta nan agung. Apakah ini sekadar banjir? Atau—meminjam Bohm—robeknya selimut kosmik keseimbangan alam?
BACA JUGA : Ibukota Jakarta: Satu Kota, Banyak Wajah
Gregg Braden menyebutnya ke dalam buku: The Divine Matrix. Jaringan tak terlihat yang menghubungkan pikiran, alam, dan tindakan manusia.
Ketika kerakusan menjadi kebijakan, dan kebijakan menjadi izin, pun yang tak berizin maka alam hanya menjalankan hukum paling purba: menagih kembali keseimbangannya.
Sumatera bukan ditimpa takdir. Sumatera ditumbangkan oleh kelalaian yang disucikan.
Kayu gelondongan meluncur seperti hantaman peluru bisu. Lumpur mengalir seperti vonis tanpa hakim.
Sawah hilang. Kampung lenyap. Puisi harmoni kehidupan rakyat dipatahkan di tengah bait kepongahan kepada hukum Tuhan.
Dan kita bertanya dengan suara tercekat: Apakah bencana ini sedang mengubah jalinan benang-benang DNA kemanusiaan kita?
KEJAHATAN PARIPURNA: SAAT HUKUM SEMESTA MENGIRIMKAN GANJARAN
Inilah kejahatan yang tidak berdiri sendiri. Ia kolektif. Ia terorganisir oleh pembiaran. Ia dipelihara oleh diam.
Ini bukan satu dosa. Ini serial ultra–extra ordinary crimes. Bukan satu pasal. Ini kuburan pasal-pasal yang dikubur oleh negeri sendiri.
Jika hukum masih bernapas, maka terdakwa perkara ini bernama: kelalaian, kerakusan, kekuasaan—dan kepongahan manusia yang kehilangan malu dan iman.
KEJAHATAN EKOLOGIS: DOSA ASAL
Hutan disayat. Gunung dikuliti. Sungai dicekik.Tanah diperdagangkan seperti kupon parkir.
Dalam bahasa hukum: ini delik formil dan delik materiil. Ini strict liability. Ini corporate crime. Ini state-enabled crime.
Negara tahu. Negara melihat. Negara diam. Maka ketika air datang membawa maut, itu bukan alam murka— itu akumulasi kejahatan yang dibiarkan tumbuh seperti kanker.
KEJAHATAN ATAS HARTA BENDA RAKYAT
Rumah hanyut. Sawah lenyap. Warung mati. Ini bukan kerugian biasa. Ini perampasan hak milik yang dijamin konstitusi.
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjanjikan rumah tempat tinggal dan lingkungan hidupnyang layak. Saya mendefisikannya hak atas permukiman dan lingkungan sehat dalam satu tarikan nafas.
Ketika negara gagal menjaganya, itu bukan cuaca buruk— namun itu pengkhianatan konstitusi.
KEJAHATAN ATAS JIWA MANUSIA
Anak-anak tenggelam sebelum sempat bercita-cita. Lansia mati perlahan di tenda pengungsian. Pasien dirawat tanpa sistem. Dalam hukum pidana: ini culpa lata—kelalaian berat.
Negara punya data bibit siklon petaka. Punya peta risiko terbaca . Punya kewajiban memitigasikan.
Tidak bertindak cepat berarti apa? Membiarkan kausal kematian bekerja leluasa.
BACA JUGA : Luas Lantai Rumah 25 M2: Jangan Permalukan Presiden Prabowo, Apa Kabar Subsidi Produktif Perumahan?
KEJAHATAN ATAS TUBUH MANUSIA
Tubuh patah. Luka membusuk. Trauma menetap seumur hidup.
IGD mati. Oksigen habis. Evakuasi lamban. Tubuh manusia adalah objek perlindungan hukum tertinggi. Gagal melindunginya dalam darurat, bukan kesalahan teknis— namun itu kejahatan terhadap martabat dan nyawa manusia.
PELANGGARAN HAM: KEJAHATAN TERHADAP YANG TAK BERSUARA
Anak yatim baru. Ibu melahirkan tanpa layanan. Difabel ditinggalkan.
Negara tidak perlu menembakkan peluru tajam untuk melanggar HAM. Cukup tidak hadir saat rakyat tenggelam.
KEJAHATAN KEUANGAN NEGARA
Kerugian bisa dihitung. Tegakan pohon punya nilai. Tapak hutan punya angka. Bahkan punya jiwa. Pohon itu teknologi alami penolong manusia
Preseden hukum berlimpah. Hukum ekstra keras atas kejahatan paripurna kudu ditegakkan setegak-tegaknya.
Anggaran mitigasi ada—namun eaely warning system (EWS) mati. Anggaran EWS mitigasi nyawa mengapa tega hati direlokasi.
Pertanyaan hukum tak terelakkan: ke mana uangnya? siapa diuntungkan?
Di sinilah bau korupsi kebijakan, TPPU, dan state capture crime tercium paling pekat.
KEJAHATAN PERIZINAN: IBU DARI SEGALA KEJAHATAN
Izin tambang. Izin HGU. Izin perkebunan. Ijin permukiman formal. Lahan sawah ditukar perumahan-properti.
Apakah AMDAL jujur?Apakah rakyat didengar?Dalam rezim hukum administrasi, ketahuilah: izin cacat adalah rahim tragedi.
PENGABAIAN DARURAT KESEHATAN
UU memerintahkan kesiapsiagaan. Yang terjadi: kekacauan tanpa upaya kesehatan bencana.
Tenaga medis bertarung sendirian. IDI, IDAI, PDGI datang— membawa harapan, layanan medis, obat-obatan dan senyum pereda bibit sakit anak-anak yang luka jiwa, ajak main mencoba lupa trauma. Dokternya banyak senang, dikasi warga pun cuman sedikit durian.
Negara? Kesehatan darurat terlambat. Rumah Sakit lapangan tiada. Mobilisasi tenaga medis mengandeng rumah besar organisasi profesi, mengapa tak dicoba? Dalam doktrin HAM: failure to act adalah pelanggaran.
PUTUSAN SEJARAH
Maka putusannya jelas. Bencana Sumatera adalah: kejahatan ekologis, kejahatan administratif, kejahatan kebijakan,kejahatan struktural, pelanggaran HAM sistemik. Inilah KEJAHATAN PARIPURNA.
Hujan turun dari langit. Namun bencana lahir dari keserakahan manusia dan kelumpuhan negara.
Dan seperti kata Rumi: “Luka adalah empat cahaya masuk.” Pertanyaannya kini: apakah negara bersedia disinari—atau terus menutup luka dengan dusta? Tabik




