JAKARTA, KabarProperti.id – Banyaknya hambatan yang harus dilalui oleh para pengembang, membuat mereka lelah mengurusi rumah subsidi yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Hal itu dikemukakan oleh tiga asosiasi pengembang yang menyumbang pasokan rumah subsidi terbesar di Indonesia yakni Realestat Indonesia (REI), Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) serta Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) dalam diskusi bertajuk “Akhir Cerita Program Sejuta Rumah?” yang diselenggarakan Indonesia Housing Creative Forum (IHCF) bekerjasama dengan Real Estat Editors Community (RE2C) di Jakarta, Jumat (19/5/2023).
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI), Junaidi Abdillah menyebut banyak pengembang lelah mengurusi rumah subsidi dan mengalihkan atau meninggalkan proyek perumahan subsidi ke perumahan komersil.
“Pengembang mulai mencanangkan perpindahan rumah subsidi ke komersil satu tahun lalu karena beratnya ongkos pengeluaran akibat kenaikan harga material,” ujar Junaidi.
Menurutnya hal ini justru merugikan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang membutuhkan hunian. Ia menuntut pemerintah mengeluarkan regulasi untuk mengatur kenaikan harga rumah subsidi setiap tahun. Apalagi harga rumah subsidi tidak naik selama 3,5 tahun.
“Kalau situasi seperti ini, banyak pengembang naik kelas dengan keterpaksaan. Rumah subsidi dipoles, dinaikkan kualitasnya, akhirnya dijadikan rumah komersil. Efeknya berimbas pada masyarakat tadi,” katanya.
Junaidi menyinggung tingkat inflasi yang terus naik setiap tahun, dan berharap kenaikan harga rumah subsidi disesuaikan dengan inflasi. Selama ini batasan harga rumah subsidi diatur Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) No. 242/KPTS/M/2020 pada Maret 2020.
“Kalau kita lebih mudah, udah sesuaikan saja dengan inflasi. Kalau inflasi tahun ini segitu ya udah segitu lah,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum DPP REI, Maria Nelly Suryani menegaskan selama masih ada MBR dan Pemerintah Indonesia memiliki keberpihakan kepada MBR, maka Program Sejuta Rumah (PSR) terutama penyediaan rumah bersubsidi seharusnya dapat terus berkelanjutan. Pengembang juga masih berkomitmen tinggi untuk membantu tugas pemerintah dalam “merumahkan” MBR.
Menurut Maria, pengembang tidak bisa membangun hanya dengan modal tanah saja, tetapi juga butuh bahan material. Sementara setiap tahun harga material pasti naik, dan kenaikan tersebut harus diikuti oleh pengembang. Sebagai contohnya harga besi yang sudah naik 90% sejak 2020.
REI menilai, pemerintah sepatutnya lebih peduli dengan fakta tersebut. Tapi kenyataannya, dalam tiga tahun terakhir harga tidak ada penyesuaian dengan berbagai alasan. Alih-alih menaikkan harga, justru peningkatan kualitas rumah dengan berbagai syarat teknis yang dipaksakan pemerintah.
Maria juga mengkritik proses harmonisasi ketentuan kenaikan harga rumah subsidi yang berbelit-belit. Padahal, pemerintah pernah menerbitkan PMK yang mengatur besaran kenaikan harga rumah subsidi, khususnya terkait pembebasan biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) per 5 tahun pada 2013 dengan terukur dan jelas. Sebagai barometer pemerintah mengacu pada proyeksi kenaikan inflasi.
“Saat itu harmonisasi di Kemenkeu tidak serumit sekarang. Terakhir tahun 2020, dimana setelah itu harmonisasi harga rumah subsidi ditetapkan setiap tahun. Seharusnya, bagaimana pun kondisi negara tetap rumah itu kebutuhan dasar,” katanya.
Ketua Umum DPP Himperra, Endang Kawidjaja juga menyoroti soal penurunan pasokan rumah bersubsidi di awal tahun ini berdasarkan informasi dari BP Tapera jadi berkurang dari target sehingga memengaruhi realisasi KPR bersubsidi.
“Terakhir, kami asosiasi pengembang justru diminta menandatangani perjanjian soal peningkatan kualitas rumah. Kami sebenarnya tidak masalah, asal ada kepastian setiap tahun harga bisa naik 6-7 persen atau kalau bisa 10 persen. Dengan begitu kami mampu menjamin kualitas dapat ditingkatkan,” tegas Endang.
Dia menyebutkan, segmen rumah subsidi membutuhkan aturan khusus yang mengikat dari hulu ke hilir, dari suplai hingga pembiayaan kepada konsumen. Menurut Endang, PP No 64 tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah memiliki spirit yang baik dalam pelaksanaan pembangunan rumah subsidi. Tetapi semangat itu hilang pasca terbitnya PP Nomor12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas PP Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta PP Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
“Dimana dengan kedua regulasi tersebut, tidak ada lagi kekhususan. Banyak aturan, tapi kurang spesifik. Kami mendesak adanya penerus PP 64/2016 yang secara khusus memprioritaskan pembangunan,” kata Endang.
Sebagai contoh aturan di Permen LHK No 4 tahun 2021 terkait Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) dimana tidak jelas batasan luas lahan perumahan yang harus memiliki Amdal. Padahal dalam PP 64/2016 cukup jelas bahwa untuk lahan dibawah 5 hektarcukup pernyataan saja, 5-25 hektar cukup UKL/UPL (Upaya Kelola Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) dan di atas baru diwajibkan mengantongi Amdal. Sementara berdasarkan permen, semua jenis perumahan mendapat perlakuan sama termasuk rumah sederhana subsidi yang memiliki luas hanya 5 hektar.
“Butuh regulasi yang seperti PP 64/2016 atau penerusnya yang jelas mengatur apa saja syarat untuk membangun rumah subsidi. Yang simple dan tidak multitafsir,” kata Endang.
Maria juga sependapat bahwa PP 64/2016 adalah aturan yang sudah bagus termasuk aturan turunannya yakniPermendagri Nomor 55 tahun 2017tentang Pelaksanaan Perizinan dan Non-perizinan Pembangunan Perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Daerah.
“Itu saja dilanjutkan karena detail sekali termasuk untuk perizinan di daerah. Namun pasca UU Cipta Kerja enggak tahu bagaimana jadi lebih banyak peraturan yang berbenturan,” ungkapnya.
Tiga asosiasi pengembang yang menyumbang pasokan rumah subsidi terbesar di Indonesia tersebut sepakat bahwa penundaan penyesuaian harga rumah subsidi pada akhirnya akan merugikan konsumen yakni MBR.
“Yang kami khawatirkan justru dampaknya kepada MBR. Kalau harga tidak naik dan pengembang terus dihantam oleh aturan yang banyak, maka banyak pengembang rumah subsidi yang tumbang dan berkurang. Ini yang rugi ya MBR karena suplai dan pilihannya menjadi sedikit,” ujar Endang.
Junaidi mengatakan saat ini memang banyak pengembang yang mengubah rumah subsidi menjadi rumah komersial. Hal itu karena mereka lelah disuruh menunggu harga baru dan ditambah lagi dengan berbagai aturan yang menyulitkan. “Tapi efeknya akan dirasakan masyarakat juga karena angsuran KPR-nya menjadi lebih mahal,” sebutnya.
Pendapat senada dikatakan Maria. Menurutnya, MBR tetap akan dirugikan, karena mereka tidak diberi kesempatan untuk memilih dan memiliki rumah. Sementara rumah merupakan kebutuhan dasar manusia. Penyediaan rumah juga merupakan kewajiban pemerintah, sedangkan pengembang hanya membantu.
“Mohon dipertimbangkan situasi pengembang termasuk jangan terus menerbitkan aturan yang seperti air hujan yang turun deras,” kata Maria.