The HUD Institute: Perumahan Rakyat Sebagai Kesatuan Dari Sistem Kesejahteraan Sosial
Selasa, 14 Januari 2020 | 19:00 WIB
JAKARTA, KabarProperti.id – Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (LP P3I) atau lebih dikenal dengan nama The HUD Institute, menggelar Tasyakuran 9 Tahun Kelahiran The HUD Institute di Jakarta, Selasa (14/1/2020).
Sebagai wadah berhimpun dan rumah besar pemangku kepentingan Perumahan, Infrastruktur Dasar, Permukiman dan Perkotaan, The HUD Institute dalam peringatan tasyakurannya tahun ini memberikan catatan khusus, terkait “Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional Bidang Perumahan Rakyat, Permukiman dan Pembangunan Kawasan Perkotaan Sebagai Prioritas Menuju Indonesia Emas 2045”.
Menurut Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The HUD Institute, masalah kesejahteraan sosial di kawasan perkotaan bersifat multidimensi. Karena itu dimensi Perumahan Rakyat, Pemukiman, dengan pemenuhan hak bermukim secara inklusif harus juga menjadi prioritas.
“Untuk itu diperlukan paradigma baru dan pendekatan utuh melalui Sistem Penyelenggaraan Perumahan Rakyat. Agar pemenuhan hak bermukim, terutama bagi kelompok sasaran yang rentan secara ekonomi terjamin,” tegas Zulfi.
The HUD Institute membagi lima kelompok sasaran yang disebut sebagai kelompok rentan; terbatas secara ekonomi serta sering tersisihkan dalam kehidupan di kawasan perkotaan yakni Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawah (MBMB), Masyarakat Berpenghasilan Rendah – Formal (MBRF), Masyarakat Berpenghasilan Rendah – Non Formal (MBRNF), Keluarga Pra Sejahtera (PS), dan Fakir Miskin (FM).
Guna mewujudkan pemenuhan hak bermukim bagi lima kelompok sasaran di atas, diperlukan upaya terobosan serta inovasi, baik dari sisi penyediaan, sisi permintaan, dukungan finansial dan termasuk juga berbagai model kemitraan serta pemanfaatan asset dalam penyelenggaraan; serta memposisikan perumahan rakyat sebagai “Barang Kebutuhan Utama Masyarakat” (atau : Quasi Public Goods) yang dapat dipenuhi rakyat atau masyarakat tertentu (hanya diberlakukan pada 5 (lima) kelompok di atas) dan terjangkau tanpa persaingan terutama pada harga dan biaya serta kebijakan ini.
Sebagai Quasi Public Goods, penyelenggaran perumahan dan pemukiman bagi kelompok sasaran selayaknya berlangsung dalam kondisi tanpa bersaing dan tanpa pengecualian (Non Rivalry dan Non Excludeable) serta tersedia dengan pilihan yang diselaraskan dengan “affordability” dan tetap disesuaikan kelayakannya serta terjamin keamanan serta kenyamanan bagi penghuninya. (Adequacy – Safe – Affordable).
The HUD Institute juga menilai, dalam kondisi keterbatasan fiskal negara, maka model pemberian subsidi tidak dapat selalu diselenggarakan. Karena itu perlu solusi dengan berbagai kebijakan dalam bentuk insentif serta intervensi untuk memastikan sistem penyelenggaraan (Penyediaan & Pembiayaan) perumahan berjalan secara berkelanjutan.
Zulfi juga mengingatkan bahwa dalam UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, telah diatur tentang jaminan kesehatan; jaminan kecelakaan kerja; jaminan hari tua; jaminan pensiun; dan jaminan kematian. Tetapi belum ada suatu sistem yang memastikan dan menjamin hak bermukim sesuai amanat konstitusi; sehingga selayaknya perumahan rakyat dan pemukiman bagi kelompok sasaran terjamin ketersediaannya.
Berdasarkan kajian, Sistem Penyelenggaraan Perumahan Rakyat menghadapi kendala pada sisi penyediaan terutama yang berkaitan dengan penyediaan lahan; sementara pada sisi masyarakat tidak banyak pilihan yang tersedia untuk mendapatkan tempat bermukim dengan cara memiliki atau sewa atau kombinasi dari keduanya.
Sementara pada aspek finansial masih terkendala pada masalah pembiayaan dan cost of money; selain juga kebutuhan penjaminan yang berkaitan dengan aspek finansial. Dengan demikian, kehadiran Special Mission Vehicle (SMV) dalam bentuk Institusi atau Badan Nasional menjadi pilihan demi perwujudan Sistem Penyelenggaraan Perumahan Rakyat yang dapat memfasilitasi dukungan baik finansial maupun penjaminan dalam penyelenggaraannya serta memastikan pemenuhan hak bermukim terwujud saat menjejaki Indonesia Emas 2045.
Merubah Citra Rumah Sebagai Produk Layanan Sosial
Pada kesempatan itu, Yayat Supriatna, Wakil Ketua Umum 2 Bidang Urban Developmen The HUD Institute mengusulkan perlunya pemisahan yang tegas terkait kebijakan rumah sebagai produk komoditas ekonomi dan rumah sebagai produk layanan sosial.
Menurut Yayat, rumah sebagai layanan sosial tidak berorientasi bagi kepentingan bisnis atau semata-mata mencari keuntungan.
“Jadi bagaimana merubah image (citra) rumah dari barang komoditas ekonomi menjadi rumah sebagai produk layanan sosial. Jika rumah selalu dipandang sebagai produk ekonomi akan sulit dimiliki bagi mereka yang terbatas kemampuan ekonominya. Akan semakin panjang rantai pasoknya bagi mereka yang tidak mampu bisa memiliki rumah. Namun sebagai produk layanan sosial, rumah menjadi tanggung jawab negara bagi yang tidak mampu,”tambahnya.
Rakyat, menurutnya sebenarnya mampu menyiapkan rumahnya sendiri, tanpa negara harus hadir didalamnya. Tapi kebutuhan rumah yang bagaimana yang dibutuhkan untuk rakyat yang sebenarnya “mandiri untuk membuat rumahnya” sendiri?
“Penyiapan lahan matang siap dibangun menjadi rumah, dapat dikatakan bahwa orang itu memiliki atau menghuni rumah yang layak dan terjangkau. Karena menuju wujud rumah itu hanya masalah proses waktu dan biaya. Pendataan warga yang sudah memiliki tanah matang tapi tidak memiliki modal untuk membangun rumah, perlu didata dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan sebagai potensi bagi warga yang dapat memiliki rumah, walaupun saat ini belum memiliki/menghuni rumah,” usulnya.
Sehingga kesan backlog yang tinggi bisa diurai lagi bahwa ada potensi kemampuan memiliki/menghuni rumah, tapi belum tersentuh kebijakan. Maka inilah yang menjadi bagian dari “Perumahan Rakyat sebagai Sistem Kesejahteraan Sosial”.