Menyoal Optimalisasi Peran, Fungsi & Pelayanan BP Tapera Bagi Penerima Manfaat
Kamis, 25 Juni 2020 | 06:00 WIB
JAKARTA, KabarProperti.id – Bung Hatta, di depan Kongres Perumahan Sehat tahun 1950 menyampaikan pemikiran strategis pembangunan perumahan. Termasuk bagaimana cara mengupayakannya dengan ide ”Satu Rumah Sehat untuk Satu Keluarga”. Dalam jejak sejarahnya, kebijakan, strategi dan program perumahan rakyat, permukiman dan pengembangan/pembangunan kawasan perkotaan terus berkembang dari Orde lama-Orde Baru sampai Orde Reformasi.
Orde Baru, diselenggarakannya Lokakarya Nasional (Loknas) tahun 1972 dan tahun 1992. Di Era Reformasi dimulai dengan Semi Loknas tahun 2002 dan penyelenggaraan Kongres II Perumahan Rakyat tahun 2009. Sampai akhirnya muncul Program Sejuta Rumah (PSR). Namun permasalahan dan kebutuhan perumahan rakyat, permukiman dan pengembangan/pembangunan kawasan perkotaan sampai saat ini, masih belum sepenuhnya tuntas.
Padahal jelas, mengacu amanat Pembukaan UUD RI Tahun 1945 pada Pasal 28 H ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang menegaskan hak konstitusional bertempat tinggal, atau disebut dengan Hak Bermukim yang berarti kebutuhan perumahan rakyat, permukiman di kawasan perkotaan/ perdesaan menjadi bagian penting dalam berbangsa dan bernegara.
The HUD Institute sejak tahun 2012 telah mendorong strategi dan integrasi 5 (lima) Komponen Dasar Hak Bermukim (“5 KDHB”), yaitu (1) Tata Ruang dan Lingkungan Hidup; (2) Penyediaan Tanah (Land dan Secure Tenure); (3) Pembiayaan dan Penjaminan (termasuk pendanaan, pajak, retribusi dan sebagainya); (4) Infrastruktur Dasar (termasuk energi); dan (5) Teknik, Teknologi dan Pemanfaatan Komponen/ Bahan Bangunan Strategis.
Baca juga : The HUD Institute: Perumahan Rakyat Sebagai Kesatuan Dari Sistem Kesejahteraan Sosial
Dalam setiap kegiatannya, The HUD Institute bergerak dengan tetap selalu mengacu kepada prinsip dasar yang menjadi pola pikir, pendekatan dan tindakan. Diantaranya mencakup memperjuangkan kepentingan Masyarakat Menengah-Kebawah khususnya Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawah (MBMB), Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) baik formal maupun informal, yang merupakan calon Penerima Manfaat Pelayanan Pembiayaan Perumahan oleh Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP-TAPERA).
Menurut Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The HUD Institute, kepentingan soal Tapera itu sudah lama ditunggu. Ia menyebutkan untuk Perumahan Prajurit sudah dimulai pada tahun 1974 dan 1977. Perumahan PNS tahun 1993/94. Tabungan Perumahan Pekerja Perusahaan/TP3 diinisiasi tahun 1995. Tabungan Perumahan Rakyat yang terintegrasi di inisiasi tahun 2006. Dan terakhir KPR FLPP diinisiasi tahun 2010.
Semua hal tersebut di atas bermaksud menghadirkan peran negara guna mengatasi kekurangan permasalahan pembiayaan dalam skala besar, murah dan berkelanjutan. Karena itu Tapera terkait langsung dengan hajat warkat dan menggunakan paradigma kerakyatan.
Baca juga : Dana Tapera, Apa Manfaat Berskala Besar Bagi Perumahan Rakyat?
“Tapera itu menjadi penting dan sebaliknya tidak akan menjadi ‘bola panas’ jika Tapera tak dikaitkan dengan rakyat,” ungkap Zulfi pada acara seminar online yang diselenggarakan The HUD Institute dengan tema: Optimalisasi Peran, Fungsi & Pelayanan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP-TAPERA) Bagi Penerima Manfaat Paska Pandemik COVID-19, Rabu, (24/6/2020).
Dr. Ir. Akbar Tandjung, Menteri Negara Perumahan Rakyat 1993-1998, founder dan deklarator The HUD Institute dalam kesempatan sebagai keynoted speaker menyampaikan bahwa, “Dalam hal penyelenggarakan pembangunan perumahan rakyat dengan portopolio Kementerian Negara maka kami memberi fokus dan mengoptimalkan koordinasi dengan semua Departemen/Kementerian dan Lembaga, termasuk Perum Perumnas. Juga pelaku pembangunan (developer) swasta yang bergabung dalam REI (Realestat Indonesia) yang pada masa saya sebagai menteri sangat aktif berperan, juga bank dan lembaga bank pembiayaan, baik di pusat maupun di daerah.”
“Sebagai Menteri Negara yang portopolionya mengurusi perumahan rakyat maka koordinasi menjadi paling saya pentingkan baik di pusat maupun daerah. Bahkan Presiden dalam merumuskan Keppres kepada Menteri Negara Perumahan Rakyat tugas dan wewenangnya mencakup pula mengkordinasikan Perumnas, REI, BTN, untuk memastikan pembangunan dan penyediaan perumahan diselenggarakan secara optimal,” tambah Akbar.
Baca juga : IPW : Tapera yang (Belum) Jelas
Sehingga pada masa itu, lanjutnya, pembangunan perumahan yang ditargetkan 500 ribu unit Rumah Sehat (RS)/ Rumah Sehat Sejahtera (RSS) dalam RPJM melampaui target pembangunan menjadi 600 ribu unit. Peranserta pihak pelaku usaha juga digiatkan dengan kebijakan Lingkungan Hunian Berimbang pola 1:3:6 dimana pelaku pembangunan yang membangun perumahan dengan pola 1 rumah mewah, 3 rumah menengah, 6 rumah sederhana–yang dimaksudkan bagi mendukung pemenuhan perumahan MBR.
Terkait dengan keberadaan BP Tapera maka sebagai institusi Dana Amanat, maka tantangan serius BP Tapera ke depan adalah membangun kepercayaan publik, membangun sistem dan kultur yang sehat dengan menciptakan mekanisme yang partisipatif dalam tata kelola yang baik (Good Corporate Governance).
“BP Tapera harus membangun koordinasi dan kolaborasi dengan pihak-pihak berkepentingan (stakeholder) seperti Pemilik Dana (pekerja dan pemberi kerja), pelaku pembangunan, pemerintah daerah, lembaga pembiayaan, bank dan bank daerah, Perum Perumnas. Termasuk kelompok MBR dan konsumen serta lembaga masyarakat seperti halnya HUD Institute,” ucap Akbar.
Yang tidak dapat diabaikan lanjutnya adalah bagaimana BP Tapera melakukan transformasi kelembagaan termasuk BP Tapera dengan baik dan sempurna, juga penuntasan sekitar 300 ribu hak-hak pensiunan PNS yang sebelumnya diselenggarakan BP TAPERUM PNS. “Di sisi lain BP Tapera tidak pula menunda pelayanan pembiayaan yang murah kepada MBR formal dan informal agar segera memperoleh rumah yang kayak dan terjangkau,” kata Akbar.
Baca juga : Tapera Diharapkan dapat Atasi Backlog Perumahan
Hal itu diperlukan dalam menjaring masukan, aspirasi dan pengalaman yang sangat berguna disumbangkan bagi BP Tapera yang dalam masa membangun sistem, mekanisme dan prosedur serta tata kelola yang baik. Itu untuk membangun kepercayaan publik dan ketangguhan institusi BP Tapera yang didukung dengan mekanisme pengambilan keputusan yang berdasarkan kepada keterbukaan dan akuntabilitas sebagai modal utama membangun sistem pembiayaan perumahan rakyat.
Muhammad Joni, Sekretaris Umum The HUD Institute mengungkapkan bahwa secara konsep tabungan perumahan rakyat itu penting dalam membangun utuh dan lengkapnya sistem pembiayaan perumahan rakyat, yang dirancang berbeda dengan pembiayaan perbankan biasa yang berbasis komersial.
“Maksud asli Tapera adalah lembaga pembiayaan primer yang berorientasi kepentingan rakyat. Garis ‘nasab’ Tapera dan UU Tapera tidak lepas, malah bersumber asli dari UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP) Pasal 124, sehingga tidak bisa dilepaskan dari latar belakang sejarah, maksud asli, asas-asas, dan norma UU PKP,” tambah Joni
UU Tapera, lanjutnya, untuk mengisi kosongnya ekologi alur rantai pasok penyediaan dan pembiayaan perumahan rakyat. Dengan demikian, watak nirlaba dalam UU Tapera musti konsisten dalam norma-norma, regulasi, kebijakan, dan program layanan Tapera, baik pada aras pengumpulan, pemupukan maupun pembiayaannya.
Baca juga : Kementerian PUPR Optimis New Normal akan Dorong Program Sejuta Rumah
Melongok sejarah, lanjut Zulfi, Undang-Undang No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat dan PP Turunannya sebenarnya amanah dari Pasal 124 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP).
“Ide dasar memasukkan klausul pendanaan dan sistem pembiayaan pada pasal 118 di UU PKP lahir dari para inisiator di era Menteri Suharso Monoarfa. Hal itu berkaca pada catatan sejarah kendala pendanaan dan pembiayaan perumahan dan belajar dari beberapa negara,” kata Zulfi.
Sedangkan Ide besar Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) lahir dari sang konseptor Tabungan Perumahan Pegawai (Taperum) yaitu Menpera Siswono Yudo Husodo. Taperum diinisiasi atas dasar pertimbangan kondisi lapangan saat itu dimana harga rumah dan pendapatan masyarakat MBR semakin lebar (big gap).
Taperum saat itu diharapkan bisa menyediakan uang muka untuk program pemilikan dan selebihnya ditanggung oleh kredit rumah berbunga. Selanjutnya Gagasan ini mendapat dukungan dari Presiden Soeharto dan terbitlah Keppres No. 14 Tahun 1993 tentang Tabungan Perumahan PNS yang kemudian diubah menjadi Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1994.
Baca juga : Program Sejuta Rumah Bantu Masyarakat Hadapi Pandemi Covid-19
Lalu Menteri Siswono YH membentuk Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan PNS (Bapertarum – PNS) sebagai pelaksana pengelola dana tabungan. Prinsip pengelolaannya adalah dana dari gaji PNS disisihkan sebagai tabungan (Golongan I, II, III dan IV yang saling berbeda), ditambah dana bantuan pemerintah untuk digunakan sebagai uang muka cicilan pembelian rumah.
Selanjutnya Era Menegpera Akbar Tandjung (Kabinet VI 1993-1998) melanjutkan program Bapertarum PNS tersebut dan berbagai program lainnya yang sangat strategis seperti Kota Baru Maja Publik. Kota Baru Maja tersebut diciptakan untuk menjadi Kawasan Kota Mandiri terbesar di Indonesia.
Pada Era Akbar Tandjung jugalah ide besar Tabungan Perumahan Pekerja Perusahaan (TP3) dilahirkan. TP3 (Tabungan Perumahan Pekerja Perusahaan) pada Tahun 1995, saat itu telah dicanangkan oleh Bapak Menteri Menegpera Akbar Tandjung dan diharapkan dapat mengatasi persoalan akses pembiayaan perumahan bagi pekerja swasta di zaman itu.
Selanjutnya tentang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan Kesehatan juga memiliki ciri/tipologi yang sama dalam upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat khusus teruntuk para pekerja. BPJS Ketenagakerjaan merupakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang ditunjuk dan di amanatkan oleh pemerintah melalui Undang-Undang dan peraturan yang berlaku untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kerja.
Tujuh Isu Pokok Optimalisasi Tapera
Diskusi soal Tapera yang diselenggarakan The HUD Institute, menurut Muhammad Joni, menyasar sedikitnya 7 pokok permasalahan yang perlu diketahui dan dioptimasi oleh BP Tapera. Diantaranya adalah:
- Lahirnya PP di Momentum Pandemik – Kesusahan Masyarakat
Timing penerbitan PP Tapera dinilai kurang tepat dan publik menilai ada unfunction BP Tapera untuk mengkomunikasikan maksud dan tujuan dari Undang Undang Tabungan Perumahan Rakyat yang merupakan mandat dari UUD 1945.
Kelemahan ini, dipandang oleh The HUD Institute sekaligus merupakan dorongan dan kesungguhan dari BP Tapera untuk dapat meningkatkan kepercayaan dan layanannya sebagai Badan Pengelola Dana Publik melalui komunikasi yang lugas, jujur, dan tersampaikan (delivery) dengan utuh kepada masyarakat (Penerima manfaat)
Baca juga : Dorong Program Sejuta Rumah, Kementerian PUPR akan Bentuk 19 Balai Perumahan
- Pemerintah tidak Fokus Menangani Masalah Pandemik
Dalam Policy Brief pada kegiatan FGD sebelumnya, The HUD Institute, telah mengusulkan kepada Pemerintah untuk mendorong relaksasi, insentif dan inovasi dalam pemberian bantuan kemudahan pada sektor perumahan rakyat,permukiman dan pembangunan/pengembangan kawasan perkotaan.
Implementasi restrukturisasi UMKM yang dimandatkan oleh Perpu 1 Tahun 2020 terasa lambat di lapangan dan lagi, pelaksanaan relaksasi dan bantuan kemudahan serta inovasi masa, pra paska dan paska belum operasional di daerah.
- Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang komersial pada Tapera yang Nirlaba
Hadirnya Manajer Investasi dan Bank Kustodian dalam proses pemupukan dana sebagai upaya untuk meningkatkan ketersediaan dana jangka panjang dan murah bagi sektor Perumahan Rakyat, sementara saat ini masyarakat sedang menguji kredibilitas para pengelola dana itu (termasuk dana jaminan sosial nasional lainnya) salah-satunya permasalahan Jiwasraya dan ASABRI saat ini.
Walaupun Negara/Pemerintah hadir melalui Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, tidak serta merta bahwa Peran BP Tapera hanyalah ‟duduk manis‟ menunggu ‟durian jatuh‟ dari Bank Kustodian tanpa memperhatikan daya pasar, daya keuangan, dan daya sistem perbankan nasional. Selain itu proses penunjukan Manajer Investasi dan Bank Kustodian sebaiknya melalui proses yang terbuka sesuai dengan asas pelayanan publik (keterbukaan informasi publik).
Baca juga : Kementerian PUPR Dukung Implementasi Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur
- Kredibilitas Badan Pengelola Tapera – Keterwakilan Pemilik Dana Perumahan dalam Dana Tapera.
Kredibilitas (Transparansi, Akuntabilitas, Responsibility, dsb) BP Tapera akan diuji. The HUD Institute menilai, BP Tapera seharusnya berperan aktif dan komunikatif dalam mengkomunikasikan substansi UU dan PP kepada masyarakat serta menyakinkan masyarakat bahwa mandat yang diterima oleh Badan merupakan amanah agung UUD 1945 dan negara berusaha untuk hadir pada sektor papan (rumah layak huni dan terjangkau).
Selanjutnya keterwakilan pemilik dana dari pekerja dan pengusaha yang dibeban-wajibkan oleh UU dan PP tersebut perlu dipikirkan dan menjadi bagian dari dewan/komite yang ada. Sungguh ironis, jika dana wajib perumahan ditarik-sisihkan dari Pekerja tanpa ada keterwakilannya di dewan/komite .
Oleh karena itu untuk mengisi “kekosongan” kerepresentasi tersebut maka perlu upaya kreatif-inovatif yang tidak bertentangan dengan regulasi yang menjalankan fungsi-fungsi relasi dan partisipasi dalam kebijakan-kebijakan BP Tapera.
- Kepastian (Jaminan) Memiliki Hunian Pertama.
Pertanyaan yang utama dalam hal peran dan fungsi BP Tapera adalah apakah dengan mengikuti dan memenuhi persyaratan Tapera, maka jaminan memiliki/menghuni rumah/hunian layak dan terjangkau akan dijamin oleh BP Tapera ? Seperti apa jaminan tersebut dan bagaimana penerima manfaat dari peserta tapera dapat mengakses huniannya ?
Hal ini patut dijawab mengingat telah adanya sistem penyelenggaraan perumahan (Rakyat) dan kawasan permukiman terdahulu yakni Kementerian yang mengurus urusan perumahan rakyat. Apakah Tabungan Perumahan Rakyat dan Badan Pengelolanya merupakan bagian utuh dari rantai (chain) penyelenggaraan tersebut?
Baca juga : Kado untuk Jakarta Tangguh ke-493, PSBB : Sintuhan Bimbo, Jiayou, dan Hak atas Kota
- Konsep Gotong-Royong dan Pemupukan Dana Serta Dana Bergulir FLPP
Penting untuk dicermati bagaimana tata laksana pemastian terjadinya kegotongroyongan penghunian bagi masyarakat menengah kebawah (termasuk MBR) di lapangan. Tentunya proses tersebut perlu dijawab dalam sistem penyelenggaraan perumahan (rakyat) dan kawasan permukiman yang telah ada.
Selanjutnya adalah konsep dana bergulir FLPP yang saat ini dilaksanakan oleh PPDPP perlu dicermati secara serius mengingat bisnis proses yang telah terbentuk disana merupakan embrio awal pelayanan publik yang ‟belum utuh‟ mengingat berbagai keterbatasan negara untuk hadir dalam penyediaan perumahan bagi MBMB (termasuk MBR didalamnya).
Apalagi dengan mandat PP tersebut (pasal 64, 65 dan 66) yang akan dapat mengubah kelembagaan yang ada di PPDPP, untuk itu diperlukan Roadmap untuk mengetahui hambatan dan tantangan dalam penggabungan PPDPP kedalam BP Tapera.
- Keterpaduan Pengumpulan Dana Jangka Panjang Murah (PT ASABRI/YKPP/TWP, PT TASPEN, BPJS TK & BP Tapera) dan lainnya.
Salah satu mandat yang dianak-tirikan dalam Undang-Undang No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah tentang Perumahan. Walaupun BPJS Ketenagakerjaan telah memiliki Program Fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja (KPR Subsidi dan Non Subsidi, PUMP/Pinjaman Uang Muka Perumahan, PRP/Pinjaman Renovasi Perumahan, dan FPPP/KK Fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja/Kredit Konstruksi).
Program ini, selama 15 tahun terakhir belum maksimal/terpadu dalam Sistem Pembiayaan Penyelenggaraan Perumahan (Rakyat) dan Kawasan Permukiman. Terutama dalam kaitannya pada rantai (Chain) yang telah ada pada Kementerian yang mengurusi urusan Perumahan Rakyat (KemenPUPR).
Baca juga : Dukung The New Normal, BTN Ajak Pengembang Bangun Rumah Rakyat
Oleh karenanya The HUD Institute menilai, dengan terbukanya “Kotak Pandora” Pasal 124 pada UU No. 1 Tahun 2011 dan beberapa mandat keterpaduan pengelolaan dana yang akan diselesaikan hingga pada tahun 2029 dalam Undang- Undang No. 24 Tahun 2011, maka Pemerintah (Bapak Presiden RI) perlu memadukan/mengintegrasikan sumber-sumber pembiayaan jangka panjang murah (Lihat Mandat UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Sektor Perumahan) dalam satu lembaga yang utuh dan tidak scatter/berpencar dan fokus kepada Program yang telah diusung oleh Presiden Republik Indonesia yaitu Program Sejuta Rumah (Layak Huni dan Terjangkau).
The HUD Institute mengusulkan agar BP Tapera, BPJS Ketenagakerjaan, dan YKPP/PT ASABRI melalui Presiden dan DPR RI untuk bersama-sama memadukan sumber pembiayaan tersebut guna diarahkan pada kesejahteraan bagi perumahan rakyat (ASN/TNI/POLRI/BUMN/BUMD/BUMDES/Pekerja).
Selain itu, The HUD Institute menilai/mengingatkan bahwa UU Tapera dan PP Tapera merupakan kesatuan utuh sebagai sistem penyelenggaraan perumahan (rakyat) dan kawasan permukiman. Tapera berusaha untuk menjawab berbagai hambatan peningkatan pembiayaan perumahan bagi masyarakat menengah kebawah dan MBR.
Saat ini berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat masih terdapat 6,8 juta unit backlog, belum termasuk lahirnya rumah tangga baru (perkawinan) sebesar 800.000 RT baru. Diketahui bersama bahwa backlog tertinggi masih berada di Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, Sumatera Utara, dan Jawa Tengah.