JAKARTA, KabarProperti.id – Saat ini pemerintah tengah berusaha menggerakkan ekonomi melalui sektor-sektor industri prioritas. Seperti diketahui sektor otomotif menjadi prioritas pemerintah untuk diberikan relaksasi sehingga dimungkinkan pertumbuhan ekonomi akan terjaga.
Pemerintah telah memberikan relaksasi pajak untuk industri otomotif melalui PPnBM pada jenis mobil sedan dan 4×2 dengan mesin di bawah 1.500 cc. Kebijakan tersebut mulai diterapkan selama sembilan bulan sejak Maret. Pada Maret hingga Mei relaksasi sebesar 100 persen, lalu 50 persen pada Juni hingga Agustus, dan 25 persen pada September hingga Desember.
Hal ini akan memengaruhi pertumbuhan di sektor industri ikutannya seperti jasa keuangan asuransi, hingga usaha bengkel kecil. Ada 1,5 juta pekerja ini di produksi otomotif, belum lagi pekerja dari industri yang secara tidak langsung terkait diperkirakan mencapai 3 jutaan orang. Angka ini membuat sektor otomotif menyumbang setidaknya 17 persen dari total industri manufaktur.
Baca juga : Ali Tranghanda : Bisnis Properti Harus Beradaptasi dengan New Normal
Perputaran uang di sektor ini pun terbilang cukup tinggi berkisar antara Rp 180 – 200 triliunan. Setelah sempat anjlok pada tahun 2020, maka dengan adanya relaksasi ini target tahun 2021 diperkirakan mencapai 750.000 unit. Banyak pertimbangan lain yang membuat pemerintah memberikan stimulus ke sektor ini.
Di sektor lain, sektor properti harusnya dapat menjadi salah satu fokus pemerintah, mengingat paling tidak ada 175 industri yang terkait langsung maupun tidak langsung di sektor properti. Properti sebagai lokomotif ekonomi harusnya juga menjadi sektor prioritas untuk dapat menggerakkan ekonomi nasional.
“Perputaran uang di sektor properti tidak dapat dianggap enteng, bahkan mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan sektor otomotif, apalagi bila dihitung sampai pada industri ikutannya. Artinya pemerintah pun harus matang mempertimbangkan kemungkinan stimulus yang benar-benar tepat sasaran dari sisi permintaan di sektor properti. Karena sektor properti tidak sepenuhnya kehilangan daya beli di segmen tertentu. Bahkan berdasarkan data yang ada, terjadi anomali di dunia properti, dimana tingkat penjualan rumah di segmen harga Rp 1 – 2 miliar pada tahun 2020 mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2019,” jelas Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch.
Baca juga : Omnibus Law dan Bank Tanah untuk Perumahan
Berdasarkan riset yang dilakukan Indonesia Property Watch, meskipun penjualan sepanjang tahun 2020 menurun 31,8 persen dibandingkan tahun 2019, namun kenaikan justru terlihat di segmen Rp 1-2 miliar yang tumbuh 12,5 persen. Sedangkan segmen lainnya mengalami penurunan bervariasi.
Indonesia Property Watch mengungkapkan beberapa alasan lain mengapa sektor ini harus dipertimbangkan sebagai prioritas untuk menggerakkan roda ekonomi nasional.
Pertama, berdasarkan riset dari Real Estat Indonesia (REI) penyerapan tenaga kerja di sektor ini mencapai 19 jutaan orang. Belum lagi tenaga kerja dari industri yang terkait langsung maupun tidak langsung dapat mencapai 11 jutaan orang. Artinya total pekerja yang melingkupi sektor ini bisa mencapai 30 jutaan orang.
Baca juga : Kepemilikan Properti WNA pada Omnibus Law, Apa Sudah Jelas?
Sering kali memang sektor ini terlihat tidak banyak menyerap tenaga kerja. Namun bila diperhatikan sangat besar keterkaitan tenaga kerja di sektor ikutan lainnya yang ditopang industri ini. Mulai dari industri bahan bangunan, semen, besi baja, kayu, cat, asesoris rumah, furnitur, juga perusahaan konsultan perencana arsitek, sipil, pemasaran, advertising, notaris, bank, sampai usaha UMKM dan warteg akan tumbuh ketika sebuah proyek properti dikembangkan.
Kedua, saat ini penggunaan material di sektor perumahan mulai hampir 100 persen merupakan produk lokal, menyusul Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mewajibkan para pengembang menggunakan produk lokal untuk setiap pengerjaan proyek properti. Kebijakan ini untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional (PEN). Dengan demikian maka produktifitas industri lokal akan semakin meningkat.
Ketiga, sebagian besar pengembang properti merupakan pengembang lokal yang harus lebih dijamin keberlangsungannya. Saat ini banyak pengembang yang mulai menjerit kesulitan cashflow karena anjloknya permintaan. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan sektor real estate pada Q4/2020 masih tumbuh 1,98 persen, namun strategi bertahan yang dilakukan pengembang tidak dapat bertahan terlalu lama lagi. Karena semakin lama permintaan semakin menurun dan seleksi pengajuan KPR dari konsumen semakin ketat dari perbankan. Bila industri ini kolaps, maka dikhawatirkan akan berimbas sangat berat bagi industri ikutan terkait.
Baca juga : Jangan Mau Diperdaya Oknum Kepailitan
Keempat, total nilai kapitalisasi penjualan properti primer rata-rata, diperkirakan berkisar antara Rp 85 – 100 triliun per tahun, dimana sebesar minimal 65 persennya didominasi oleh perumahan, selebihnya terbagi untuk tanah, apartemen, komersial, dan perkantoran.
Kelima, penjualan properti sekunder memberikan kontribusi yang sangat besar dari keseluruhan properti. Transaksi di pasar sekunder, diperkirakan mencapai Rp 115 – 150 triliun yang dilakukan oleh agen broker master franchise, agen properti lokal, sampai broker tradisional. Nilai ini memberikan kontribusi minimal 61,5 persen dari total keseluruhan transaksi properti.
Nilai ini seringkali tidak tercatat dan tidak diketahui pasti, namun sebagian besar pihak memastikan nilainya lebih tinggi dibandingkan penjualan properti di pasar primer. Dengan demikian diperkirakan total perputaran penjualan properti di Indonesia mencapai Rp 200 – 250 triliun per tahun.
Baca juga : Jadi Penggerak Perekonomian, Sektor Properti Butuh Perhatian Serius Pemerintah
Keenam, data penyaluran KPR memerlihatkan bahwa paling tidak terdapat 250.000 – 300.000 unit KPR per tahun untuk perumahan subsidi dan non subsidi. Pada tahun 2019 diperkirakan penyaluran KPR paling tidak mencapai Rp 115 triliun. Nilai ini diluar pembelian melalui cash atau cash bertahap tentunya.
Ketujuh, potensi permintaan rumah masih sangat tinggi terlihat juga dari nilai backlog perumahan yang masih tinggi. Hal ini juga terlihat dari rasio penyaluran KPR di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara di ASEAN. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN.
Berdasarkan data perbandingan tahun 2014 sampai 2017, tingkat penyaluran KPR Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) paling rendah dibandingkan negara-negara tetangga berkisar antara 2,94 – 3,01 persen dibandingkan Singapura dan Malaysia masing-masing sebesar 45,5 persen dan 36,0 persen. Tingginya suku bunga perbankan dan besarnya biaya transaksi menjadi salah satu hambatan yang terjadi.
Baca juga : Riset REI DKI Jakarta, Butuh Gerak Cepat Pemerintah Gairahkan Industri Realestat
Kedelapan, properti merupakan kebutuhan primer papan sekaligus dapat menjadi investasi yang nilainya selalu bertumbuh. Kepemilikan properti juga menjadi salah satu faktor tolok ukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Edukasi terhadap masyarakat untuk mulai memiliki properti harusnya menjadi prioritas pemerintah.
Melihat potensi perputaran uang yang sangat tinggi di pasar properti diiringi dengan penyerapan tenaga kerja yang sangat besar, sektor properti harusnya menjadi salah satu prioritas penting untuk ‘diselamatkan’. Sisi permintaan harus segera digerakkan, khususnya di golongan masyarakat menengah-atas yang diperkirakan masih menyimpan potensi daya beli.
Sebagian besar masyarakat ini masih menyimpan uangnya di perbankan dan menunda untuk membeli properti. Indonesia Property Watch menghimbau pemerintah untuk dapat mempertimbangkan masak-masak kemungkinan diberikannya stimulus bagi sektor properti khususnya penurunan biaya-biaya transaksi termasuk pajak PPN dan BPHTB yang saat ini masih tinggi, mencapai total 22-23 persen. Pengurangan pajak yang ada harus bersifat signifikan, karena pengurangan yang terlalu kecil pun tidak menarik bagi pasar konsumen untuk bergerak membeli properti saat ini.