Refleksi Akhir Tahun, Ini Tujuh Isu Strategis dan Rekomendasi The HUD Institute Terkait Perkotaan dan Perumahan Rakyat
Jum'at, 31 Desember 2021 | 08:30 WIB
TANGERANG SELATAN, KabarProperti.id – Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (LPP3I) atau lebih dikenal dengan nama The HUD Institute, sebagai wadah berhimpun dan rumah besar pemangku kepentingan Perumahan, Infrastruktur Dasar, Permukiman dan Perkotaan, kembali memberikan beberapa catatan penting menyongsong tahun 2022 yang penuh tantangan di tengah tekanan pandemi Covid-19 yang belum tentu ujungnya sampai kapan berakhir.
Penyedian hunian dan tantangan perkotaan dimasa pandemi harus menjadi semangat inklusif dalam menghadapi tantangan yang bisa berbuah setiap saat dan membuka peluang bagi berbagai pihak untuk memberikan inovasi baru dalam setiap menghadapi kesulitan.
Adrinof Chaniago, Ketua Majelis Tinggi The HUD Institute menyebutkan bahwa untuk membuat usia kota sebagai kota berkualitas lebih lama, maka perumahan perkotaan harus didominasi oleh hunian vertikal.
Pemerintah Pusat dan pemerintah kota-kota di Indonesia harus punya kebijakan tegas memperbanyak pembangunan apartemen sederhana dan rumah susun di perkotaan. Salah satu caranya, menggunakan lahan-lahan negara, aset Pemda, BUMN, BUMD, baik yang sudah ada bangunan tidak efisien maupun lahan kosong, untuk lahan pembangunan apartemen murah dan rumah susun.
BACA JUGA :The HUD Institute Gelar Lokakarya Properti Syariah, Ini 10 Rekomendasinya
“Oleh karena itu The HUD Institute juga akan terus mendorong secepatnya lahir RUU Perkotaan dan RUU Properti yang harus tegas mengarahkan pembangunan perumahan perkotaan agar didominasi hunian vertikal,” terangnya.
Belajar dari pengalaman pelaksanaan pembangunan perumahan, khususnya bagi Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR), Oswar M. Mungkasa, Wakil Ketua Umum The HUD Institute melihat ada dua kata kunci yang terabaikan. Pertama, masyarakat sebagai subyek pembangunan perumahan dan kedua, pemenuhan hak asasi perumahan melalui kolaborasi antar pemangku kepentingan adalah suatu keniscayaan. Kolaborasi adalah kunci terwujudnya keberhasilan dan keadilan, bentuk kepedulian terhadap yang tidak mampu.
“Bahwa masyarakat sebagai subyek masih dimaknai secara simbolis saja. Demikian pula dengan wacana pembangunan perumahan kolaboratif, bukan monopoli salah satu pihak, baik pemerintah, swasta bahkan masyarakat, itu juga belum sepenuhnya terwujud, “ujarnya.
Norma baru kehidupan dalam masyarakat pascapandemi menurut Arnold M. Mamesah, Wakil Ketua Bidang Data, Informatika & Komunikasi The HUD Institute menuntut kemampuan “hijrah” dari cara lama dan beradaptasi dengan berbagai norma dan nilai baru menuju masa depan yang lebih baik.
“Penyedian hunian dan tantangan perkotaan perlu memperhatikan aspek utama masyarakat madani yang mengarusutamakan kesertaraan (equality), keberagaman (diversity & inclusiveness), kepedulian (care & attention) yang selaras dengan kearifan lokal dan peradaban yang ada di Nusantara,” ujarnya.
BACA JUGA :The HUD Institute Usung Tagline Perumahan Indonesia “Rumah Sehat Produktif Untuk Keluarga Sejahtera”
Yayat Supriatna, Wakil Ketua Bidang Urban Development The HUD Institute tidak lupa mengrikitisi soal banyaknya regulasi dan pembentukan lembaga baru untuk penanganan masalah perumahan. Tetapi akar masalahnya tidak pernah tuntas.
“Semua terlalu fokus sama ‘ego centris’-nya masing-masing. Bukan ‘socio centris’. Padahal masalah perumahan & permukiman lebih banyak pada aspek ‘socio centris’-nya. Jangan lagi penanganannya dilakukan dengan pendekatan “ego centris”,” tegasnya.
Oleh karena itu diperlukan dukungan penuh agar PUPR, mampu menjadi bridging semua stakeholder perumahan. Dibutuhkan kekuatan regulasi dan aktor yang paham lapangan, lincah dan taktis untuk menyelesaikan masalah dan menjadikan perumahan adalah tanggung jawab bersama.
Pemerintah perlu berani lakukan terobosan dan ambil resiko serta menetapkan target jangka panjang yang masif, misalnya Zero Backlog yang disusun secara terstruktur dan sistematis berbasis tahapan pencapaian tambahnya
Sementara itu Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The HUD Institute menyoroti beberapa hal. Diantaranya terkait perlunya Peningkatan kapasitas Sumberdaya Manusia yang memahami perumahan dan pembangunan perkotaan disemua lini, terutama dalam hal penyusunan regulasi dan pelayanan publik.
BACA JUGA :Dukung Omnibus Law Cipta Kerja, The HUD Institute Berikan Sejumlah Masukan
Pemanfaatan APBN lewat program-program padat karya. Demikian juga persoalan klasik soal peran swasta dalam hal perizinan, pembiayaan, pertanahan yang memerlukan kemudahan, akuntabilitas dan kepastian agar tercipta iklim usaha yang kondusif.
Mencermati berbagai dinamika tersebut, di tengah pandemi covid-19, The HUD Institute lanjut Muhamad Joni, Sekretaris Umum The HUD Institute, mencatat sedikitnya ada tujuh isu strategis utama dan sekaligus rekomendasi yang perlu dicermati para pemangku kepentingan ke depan.
Tujuh Isu Strategis itu adalah:
- National Affordable Housing selaras dengan Housing Grand Design 2045 yang berbasis data & informasi
HGD 2045 mencakup (i) Penyediaan big data properti/ perumahan; (ii) Kebijakan penyediaan tanah nasional (national land policy) untuk properti/ perumahan rakyat; (iii) Kepastian penataan ruang; (iv) Akuntabilitas dan aksesibilitas perijinan; (v) Inovasi pembiayaan dan inklusi keuangan; (vi) Edukasi, literasi dan akses perlindungan konsumen.
- Reposisi Industri Properti/Perumahan paska putusan MK RI tentang UU Cipta Kerja.
Beberapa isu yang bisa diharmonisasi adalah (i) Re-Analisis substansi hukum mengenai kelembagaan Bank Tanah, Badan Percepatan Pembangunan Perumahan (BP3), efektifitas Hunian Berimbang, aturan yang pasti dan berkeadilan perihal tanah terlantar demi kepentingan perumahan rakyar, (ii) Pola partisipasi dan agregasi substansi hukum perlindungan konsumen kedalam proses revisi UU Cipta Kerja; (iii) Mengisi substansi UU Cipta Kerja yang masih kosong (rechvacum) terutama perihal perumahan rakyat yang; (iv) Yang perlu didukung satu tim kerja yang kolaboratif dengan pembuat UU dan multistakeholder; (v) Dengan media literasi, kampanye dan advokasi perumahan rakyat yang terjangkau, layak, berkeadilan.
- Memastikan efektifnya BP TAPERA dalam pembiayaan perumahan MBR bersubsidi paska dari PPDPP ke BP TAPERA.
Perlu pengawasan dan advokasi peran BP TAPERA –yang bukan lembaga bisnis namun nirlaba– dalam pembiayaan perumahan MBR. Perlu garis kebijakan yang affirmatif dan special treatment yang membedakan pembangunan perumahan MBR dengan perumahan komersial, untuk perijinan dan pembiayaan perumahan MBR, termasuk dalam penyediaan tanah, agar tidak menjadi beban birokrasi, administrasi, dan beban biaya. BP TAPAERA juga perlu transparan dalam hal kebijakan perumahan, dan tata kelola yang baik dan membuka akses kepada sistem pembiayaan perumahan TAPERA yang terbuka, cepat dan mudah akses guna menjawab kebutuhan nasabah dan pelaku pembangunan perumahan MBR.
- Penyelenggaraan perumahan (subsidi/umum dan komersil) berbasis pembiayaan syariah:
- Perlu menginisiasi dan respon kritis-substantif atas RUU Ekonomi Syariah–untuk pembiayaan properti/ perumahan dan inklusi keuangan syariah.
- Meluaskan porsi ekonomi syariah untuk properti/ perumahan komersial dan perumahan MBR.
- Memperkuat sistem rantai pasok penyediaan perumahan berbasis syariah
- Membuat panduan teknis penyediaan perumahan berbasis manajemen syariah.
- Membuat payung hukum perlindungan konsumen perumahan berbasis pembiayaan syariah.
- Memperkuat modal social/pelembagaan nilai pembiayaan syariah bagi komunitas.
- Kawasan perkotaan dan permukiman yang madani dengan hadirkan kelayakhidupan (liveability)
Di tengah perkembangan teknologi informasi, maka perlu terus mengembangkan (i) Digitalisasi Program Sejuta Rumah; (ii) Spesial treatmen dalam mengatasi hambatan rantai pasok perumahan MBR; (iii) Menggarkkan pembangunan Sejuta Rusun. (iv) Mendorong RUU Perkotaan dan RUU Properti serta adendum UU Pemda terkait urusan perumahan dan kawasan permukiman (v) Pendampingan penyusunan RKPD untuk utilitas dan fasilitas permukiman MBR.
- Edukasi, literasi, perlindungan konsumen properti/ perumahan.
Dengan melakukan (i) Digitalisasi edukasi, literasi, dan mekanisme komplain konsumen. (ii) Aktivasi Badan Layanan Perlindungan Konsumen. (iii) Program Edukasi Konsumen: Mediasi dan Mitigasi PKPU/ Kepailitan. (iv) Penguatan kesadaran diskursif (inisiatif bertindak positif) bagi komunitas.
- IKN yang tagging terintegrasi dengan dengan agenda kebijakan perumahan rakyat dan pembangunan perkotaan ke dalam kebijakan dan regulasi UU IKN.
Untuk memastikan alokasi dan penyediaan perumahan MBR di pemerintah provinsi khusus IKN. Juga, kebijakan merumahkan kembali bagi warga terkena relokasi/pemindahan lokasi permukiman, dan pengembangan perumahan berbasis layanan transportasi yang terintegrasi.