JAKARTA, KabarProperti.id – Indonesia Property Watch mengapresiasi kebijakan LTV (Loan to Value) dan FTV ( Financing to Value) sebesar 100 persen, yang berarti masyarakat tidak perlu mengeluarkan uang muka untuk pembelian properti dan ditanggung oleh bank. Dibarengi dengan penurunan BI Rate 7-Day Repo menjadi 3,5 persen. Hal ini memerlihatkan bahwa pemerintah berusaha keras untuk dapat menggerakan sektor properti lebih kencang lagi.
Meskipun demikian Indonesia Property Watch mencatat beberapa alasan mengapa kebijakan ini diperkirakan masih belum dapat sepenuhnya mengangkat sektor properti. Dengan pembelian properti tanpa uang muka, pastinya akan berdampak dan berpotensi untuk meningkatkan minat membeli properti.
Dalam kondisi normal dan daya beli masyarakat di semua golongan masih cukup terjaga, kebijakan tanpa uang muka ini akan sangat membantu meningkatkan minat masyarakat untuk membeli properti. Namun demikian dalam kondisi saat ini, minat saja tidak cukup dan harus diimbangi dengan daya beli.
Baca juga : Inilah Alasan Mengapa Properti Harus Diberikan Stimulus
Seperti kita ketahui saat ini daya beli masyarakat sangat terganggu dan golongan penghasilan masyarakat yang sangat terdampak. Sebagian besar golongan masyarakat menengah-bawah lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan lain sebelum memilih untuk untuk membeli properti.
Golongan masyarakat yang memiliki potensi besar untuk membeli properti saat ini dapat dikatakan tertumpu pada golongan masyarakat menengah-atas. Pada golongan ini besaran uang muka tidak menjadi isu terpenting dalam membeli properti, karena berdasarkan daya beli seharusnya mereka masih sanggup untuk membayar uang muka.
Selain itu juga saat ini sudah mulai banyak pengembang yang melakukan strategi penjualan properti tanpa uang muka. Meskipun masyarakat dapat membeli tanpa uang muka, namun mereka juga harus membayar biaya-biaya pajak dan lainnya yang masih cukup besar.
Baca juga : Ali Tranghanda : Bisnis Properti Harus Beradaptasi dengan New Normal
“Kalau untuk uang muka saat ini sebenarnya sudah dimungkinkan tanpa uang muka, meskipun tidak semua bank mau menerapkannya. Selain itu juga sudah banyak konsumen properti yang bisa membeli tanpa uang muka dengan strategi harga yang dilakukan pengembang. Namun setelah itu mereka kan harus juga mengeluarkan biaya-biaya pajak PPN 10 persen, BPHTB 5%, dan lainnya sampai mencapai 22 – 23%. Ini yang harus juga dipertimbangkan pemerintah untuk dapat dikurangi saat kondisi pendemi seperti saat ini untuk menarik minat golongan menengah-atas untuk membeli properti,” jelas Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch.
Bukan tanpa alasan, Ali menambahkan saat ini daya beli masyarakat menengah-atas relatif masih cukup baik meskipun terganggu. Sebagian masih menyimpan uangnya di bank dan menunda pembeli properti.
Berdasarkan analisis yang dilakukan Indonesia Property Watch, diperlihatkan juga bahwa penjualan properti yang maish mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2019 berada di segmen harga Rp 500 – 2 miliar, sedangkan di segmen lebih dari Rp 2 miliar meskipun mengalami penurunan namun bukan berarti tidak memiliki daya beli. Sebagian besar menunda pembeli properti.
Baca juga : Omnibus Law dan Bank Tanah untuk Perumahan
Dengan ‘hanya’ kebijakan tanpa uang muka, tidak akan terlalu menarik bagi mereka untuk membeli properti. Karena nilai transaksi propertinya tetap tidak berubah dan hanya kemudahan pembayaran. Namun demikian berbeda bila insentif yang diberikan terkait pengurangan pajak BPHTB dari saat ini 5 persen menjadi 2,5 persen seperti yang diusulkan Indonesia Property Watch, atau bahkan ditambah pengurangan PPN 10 persen yang diusulkan Real Estat Indonesia (REI).
Dengan adanya pengurangan biaya ini, konsumen properti akan lebih tertarik untuk menyimpan uangnya di properti karena secara nilai transaksi lebih rendah dari kondisi normal. Tentunya pengurangan ini tidak harus diberlakukan selamanya jika memang pemerintah keberatan. Namun paling tidak dalam 1 tahun ke depan, strategi relaksasi ini yang akan membuat pasar properti diperkirakan akan tetap meningkat dalam kondisi pandemi seperti saat ini.
Indonesia Property Watch memperkirakan bahwa dengan adanya gabungan kebijakan LTV/FTV, penurunan suku bunga, dan pengurangan biaya-biaya pajak dan BPHTB akan memberikan daya dorong yang sangat signifikan untuk dapat mengubah perilaku pasar konsumen untuk membeli properti sehingga dapat menggerakan sektor industri ini secara luar biasa.