Ragam/Tips

Gagal Serah Properti: Kepailitan Developer atau Wanprestasi?

Selasa, 11 Agustus 2020 | 19:00 WIB

Oleh: Muhammad Joni *

JAKARTA, KabarProperti.id – Logiskah  pesepakbola terkenal ‘R’ yang dibanderol selangit, sengaja gol bunuh diri? Logiskah ‘R’ pebalap ekstra-mahal yang branded –ugal-ugalan di arena sirkuit— membiarkan diri diganjar diskualifikasi? Lapangan hijau pun sirkuit balap itulah  mesin “bisnis” yang menjumbokan  pundi-pundi ‘R&R’.

Kalau pasar itu  lapangan hijau sepak bola, vonis kepailitan itu bukan hanya kartu merah tanpa ampun plus titik putih dua belas pas pinalti, namun pensiun dan gantung sepatu.  Literatur mendefenisikan kepalitan  sebagai keluar dari pasar: exit from market.  Ekologi pasar dimulai dari entry to market sebagai  eksisnya kelahiran badan hukum korporasi. Investor seperti  aliran air  ke tempat  rendah. Berani mahal membayar asal bisa memasuki cum menguasai rantai pasar.

Logis jika pintu exit from market atau dikeluarkan dari pasar itu tidak diumbar. Sedapatnya dihindari.  Diperketat. Hanya situasi kondisional berat. Hanya ketika kondisi keuangan korporasi membelit akut. Yang dikenal dengan  upaya  terakhir (ultimum remidium). Dari pengalaman empiris Indonesia, kepailitan mencuat karena  krisis moneter.

Dari dinamika lapangan dan jamak kasus, akankah kepalitan tergopoh dipakai sebagai jurus pembayaran belaka? Hanya debt collective proceeding?  Kalau exit from market  itu dibiarkan leluasa,  konsumen akhir yang  terimbas juga. Karena norma  dua utang  jatuh tempo dengan  pembuktian sederhana. Patut ditimbang dampak resiko kerusakan ekosistem pasar, demi menjaga sistem hukum yang adil dan pasti  –yang menjadi asas hukum universal.

Lagi pula,  sejarah kelahiran UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tak lepas dari setting krisis  moneter. Marilah menimbang prinsip adil dan pasti, yang melekat pada hukum kepailitan (M. Hadhi Subhan, 2008).

Logiskah, eksistensi suatu norma hukum kepailitan jika utang  satuan 100 dari aset satuan 100 juta (1:1.000.000),  lantas  segera  mendaftar ke Pengadilan Niaga?  Jika gagal serah 2 unit apartemen pada proyek kota mandiri dengan perumahan skala besar dalam  kawasan permukiman, patutkah developernya segera dipailitkan pada kesempatan pertama?

Dalam perjalanan penerapan hukum kepailitan, disadarikah adanya  dilema hukum misalnya perihal syarat 2 (dua) utang kreditor cum developer skala besar  versus kepentingan hukum konsumen akhir (end user) yang sudah membayar cicilan –namun hanya  berbekal  surat pemesanan dan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) saja? Hanya karena frasa norma utang dengan  pembuktian sederhana.

Soal hukum lain, mencakup tak adanya insolvensi test kepada korporasi yang masih segar bugar. Namun kepailitan  diperlakukan tidak sebagai upaya terakhir (ultimum remidium). Seringkali  malah upaya pertama (premium remidium).

Soal utamanya  terkait defenisi utang.  Hampir semua  korporasi  mempunyai utang jatuh tempo. Besar atau ataupun kecil. Lantas, patut dan adilkah hanya dengan dua utang tak seberapa dari aset dalam neraca,  korporasi dibangkrutkan?

Logika pasti sanggup membedakan kapal yang terombang ambing badai  menuju karam,  dengan   kapal terkena efek rembes bocor tak seberapa  dan kemasukan sedikit air saja. Apakah gagal serah  unit apartemen itu konstruksi hukumnya sama seperti halnya  utang uang? Bukankah itu masih wanprestasi PPJB ataupun jual beli properti?

Tak hanya membaca teks norma, soal ini patut dicerna dengan asas atau prinsip hukum. Sebab, asas-lah yang mengayam norma. Pada asasnya,  kepailitan  itu jika korporasi  dalam  belitan  masalah keuangan akut tak terselesaikan –yang  membutuhkan lembaga kepailitan sebagai  exit from financial distress.  Jika  posisi kewajiban utang yang jauh lebih besar daripada nilai  harta kekayaannya,  maka norma hukum dan praktik hukum musti  menarik garis tegas antara  balance sheet insolvency dengan cash-flow insolvency  (Sutan Remy Syahdeini, 2015).

Sebab itu, kepalitian korporasi bukan premium remidium. Patut didahului dengan insolvency test.  Mustinya dengan syarat yang berlogika sebab akibat yang ketat. Jika hanya cash-flow insolvency, kiranya  itu masih utang biasa. Bukan alasan mengajukan  kepailitan. Sifatnya hanya perkara  perdata  cidera janji (waprestasi) biasa.

Tamsilnya,  logiskah ketika  lupa membawa dompet  ke pompa  bensin dan tak bisa membayar tagihan belanja di mini market, sontak pengusaha kedai pergi ke Pengadilan Niaga? Demi ekologi industri properti cum perlindungan hak konsumen,  perlu membuat jalan baru dengan menguji norma, tidak hanya menjalani norma.

Kuantum Advokasi

Soal lain? Relasi hukum antara konsumen dan developer terbilang unik, tak perikatan biasa. Produk belum jadi/ada namun bisa jualan, namanya pre project selling. Konsumen disyaratkan bayar uang muka (down payment/DP)  dalam jumlah tertentu dan melampaui Loan To Value (LTV).

Namun, karena belum lunas dan bendanya belum ada, maka belum ada penyerahan juridis (yuridish-levering) atas barang/benda. Walau sudah ada Sertifikat Laik Fungsi (SLF), penyerahan kunci, bahkan konsumen sudah  menghuni unit, membayar management fee, dan bahkan konsumen terus membayar cicilan berjangka, atau cicilan keras-lunas.  Namun status kepemilikan properti by law belum beralih ke konsumen. Uangnya saja yang beralih sudah.

Majelis pembaca juga maklum, jamak proyek properti tidak hanya satu-dua  menara, belasan bahkan puluhan dalam satu hamparan. Pun, tak hanya hunian, namun perkantoran, dan pusat perbelanjaan. Tak jarang bahkan dengan kombinasi hunian berimbang  perumahan komersial dengan perumahan MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) yang bersubsidi karena berasal dari dana APBN. Ahasil, status asetnya menjadi semakin pelit.

Menjadi kenyataan hukum dan bisnis ketika  proyek perumahan skala besar itu   tumbuh mengkota dalam satu kawasan. Menjadi kota mandiri baru. Kerapkali, developernya pun masih terikat dengan pembiayaan konstruksi dengan konsorsium lembaga perbankan. Jika sontak kepailitan didaftarkan, sebutlah karena gagal serah  2 unit apartemen atau sebab wanprestasi PPJB,  bukan tidak mungkin menjadi keadaan dramatis : “the city in the midle of insolvency case”. Yang berimbas kepada konsumen dan ekologi industri properti.

Sebab itu, apabila developer gagal serah, unit belum terbangun, lewat waktu waktu pembangunan dan penyerahan serta penghunian,  tidak serta merta idemditto didefenisikan utang yang developernya dalam status financial distress. Belum tentu balance sheet insolvency. Perlu dicatat,  kontra prestasi penjualan properti adalah penyerahan (levering), selagi perjanjian masih belum dibatalkan.

Di titik ini, pembentukan hukum (rechtvorming) soal takrif  utang menjadi isu sentral.  Apalagi masih adanya kesatuan paham  norma utang dalam yurisprudensi kepailitan. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang tidak memberikan syarat debitur dapat dipalitkan,  perlu dikaji ulang.

Perlu dibatasi dengan insolvency test. Bedakan  antara balance sheet insolvency dengan cash-flow insolvency. Apalagi hanya  gagal serah belaka –yang masih merupakan  wanprestasi penyerahan barang. Bukan  korporasi dalam situasi financial distress.

Tak logis rasanya, pebalap mahal  yang serba “branded” ugal-ugalan di  sirkuit. Sengaja hendak keluar gelanggang.  Pun demikian,  developer dan konsumen  mewaspadai ancaman insolvensi yang berujung kepailitan/PKPU.  Dengan regulasi  yang terus menerus diperbarui.  Nasihat opini ini perlunya  respon lawyering sistematis yang menjaga ekologi industri properti cum melindungi hak konsumen. Saya menyebutnya kuantum advokasi. Tabik.

*Muhammad Joni, S.H., M.H., Advokat dan Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute. Opini ini pendapat pribadi penulis.

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button