Percepatan Pembangunan Perumahan Rakyat : Kolaborasi Singkirkan Halangan, Perluas Akses Kaum MBR
Sudah semustinya tidak ada halangan, dalam hal ikhwal perumahan sebagai hak dasar dan hak konstitusional.
Oleh: Muhammad Joni *)
JAKARTA, KabarProperti.id – Mencerna helai demi helas visi dan misi, publik perumahan patut riang tersebab tiga pasangan calon Presiden-Wakil Presiden peduli ikhwal perumahan rakyat. Visi dan misi itu adalah dokumen politik, yang berdimensi perjanjian kepada publik. Janji yang bisa ditagihkan.
Pelaksanaan visi dan misi adalah tantangan pada dua hal: kolaborasi dan perluasan akses. Mengadvokasi percepatan mencapai kesejahteraan perumahan adalah keharusan, bukan membiarkan sebagai bussines as usual. Tanpa agenda percepatan: kolaborasi dan akses.
Hari pencoblosan suara Pemilu 2024 telah lewat tiga pekan, rekapitulasi kita harapkan konstitusional.
Ini hari-hari yang syarif untuk bergerak cepat, The Housing and Urban Developmen (HUD) Institute menggelar Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas), 7 Maret 2024 untuk menyokong langkah penting ini: percepatan pembangunan perumahan rakyat yang merupakan hak konstitusional. Helat dibuka Menteri Perencanaan Pembangunan/ Kepala BAPPENAS Suharso Monoarfa. Disempurnakan dengan arahan Ketua Majelis Tinggi Organisasi (MTO) Andrinov A.Chaniago. Juga, pakar dan profesional housing and urban development dilibatkan dalam mengawal agenda The HUD Institute mengadvokasi percepatan pemenuhan hak bertempat tinggal versi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Menjelang Rakortas, saya berdiskusi secara one on one dengan Ketua Umum The HUD Institute. Hasilnya, perlu percepatan dan ketepatan agenda pembangunan perumahan rakyat yang kini akan memasuki ruang waktu penting (2024-2029), menjelang Indonesia Emas 2045. Periode itu seperti tamsil serambi, selangkah memasuki ruang utama rumah. Transformasi apa hendak dilakukan?
Narasi ini tak hanya rekapitulasi instruksi dan chit-chat dengan pak Zulfi Syarif Koto. Pun, saya menikmati gizi moral, betapa kokoh dan tabahnya The HUD Institute peduli pada kaum MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) ikhwal hak atas rumah –yang layak, terjangkau, dan berkeadilan.
Diskusi kami setuju menggaris bawahi poin penting ini: BP3 (Badan Percepatan Pembangunan Perumahan) –yang terkesan skip dari ekologi perumahaan dan kawasan permukiman.
BACA JUGA : Dari Gulanomics Kotabaru Yogja, Desak Perubahan Perkotaan Indonesia Forever
Hal itu catatan penting yang perlu dikemukakan sebagai sikap abadi tatkala berdiskusi by phone dengan Ketua Umum The HUD Institute yang seakan terlahir untuk perumahan rakyat. Mungkin karena waktu kecil acap pindah-pindah menyewa rumah seperti diujarkannya kepada saya, rumus baku pro kaum MBR adalah sikap idiologisnya, saya mengikuti dan mengambil alih sebagai posisi pemihakan dan strategi advokasi.
Menindaklanjuti diskusi, saya diminta membuat serambi, tak lain sebagai ‘Sekapur Sirih’ yang tak lain sambutan pembuka acara Rakortas.
Kata serambi itu bagian depan jelang ruang utama rumah yang selalu dikawal dengan tata krama, bukan hanya siaga hulu balang penjaga. ‘Sekapur Sirih’, dua kata satu makna itu adalah tata krama, pun tamsilan menghormati tetamu yang dimuliakan. Kata ‘syarif’, dalam bahasa Arab artinya mulia.
Dalam tamadun puak Melayu, ‘Sekapur Sirih’ itu sambutan memuliakan tetamu yang datang diundang pun kunjungan penghormatan (courtesy visit). Tak afdhol dan tak elok rasanya bila tak ada pantun dituturkan.
“Buah lakom pisang barangan/ Dibawa masuk dalam sanggan/ Assalamualaikum kami ucapkan/ Tempat duduk sudah disiapkan”.
“Kawat direntang buat jemuran/ Ambil galah tolong tegakkan/ Selamat datang kami ucapkan/ Alhamdulillah tak ada halangan.”
Perumahan Rakyat, Kudu Tanpa Halangan
Sudah semustinya tidak ada halangan, dalam hal ikhwal perumahan sebagai hak dasar dan hak konstitusional. Mulia dan hebatnya hak perumahan perlu dicatat, bahwa tanggungjawab atas hak bertempat tinggal itu adalah kontrak sosial yang dimuliakan ke dalam konstitusi versi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Itu catatan yang konstitusional dan syarif.
Perumahan yang layak dan terjangkau itu kebutuhan dasar yang cita rasa dan standar-nya terus berkelanjutan bukan menurun, bahkan menjadi identitas bangsa beradab di planet bumi manusia sehingga menjadi hak universal, tanpa interupsi.
Selain tanpa interupsi, perumahan itu hak yang universal, tersebab itu bersatupadu dengan asas keadilan universal atas hak hunian.
Perkembangan pembangunan perumahan rakyat di Indonesia pun bergerak terus seakan tanpa interupsi. Pemerintah Indonesia sudah banyak meluncurkan kebijakan dan program perumahan rakyat, seperti Program Satu Rumah Sehat untuk Satu Keluarga, Kampung Improvement Programme (KIP), Program Pembangunan Bertumpu pada Kelompok (P2BK), Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat (GNPPS), Program Bantuan Kredit Lunak Bank Indonesia, Program Gerakan Nasional Pembangunan Sejuta Rumah (GNPSR), Gerakan Nasional Pengentasan Permukiman Kumuh (GENTAKUMUH), Program 1000 Tower dan 350.000 Rusunawa Pekerja di perkotaan, termasuk sekarang ini dengan Program Sejuta Rumah.
Namun, mengapa oh mengapa angka backlog dan rumah tidak layak huni serta kawasan kumuh kota alahai masih belum menurun. Lepas dari pencapaian yang diraih dengan program sejuta rumah (PSR), namun perlu audit lengkap mengapa belum efektif mengatasi defisit perumahan? Karena pada kenyatannya masih ada backlog sebesar 12,75 juta (2020), yang justru bukan turun, alahmak malah naik 0,8 juta jika dibandingkan angka backlog pada kurun waktu 14 tahun yang lalu.
BACA JUGA: Penyediaan Perumahan di Indonesia Masih Hadapi Jalan Terjal
Kondisi sedemikian seperti methapor disampaikan Dirjen Pembiayaan Kementerian PUPR Harry Trisaputra Zuna bahwa backlog bagai mengisi bak air tak penuh-penuh. Penting tulus memeriksa faktor krusial dan masuk akal perihal isu “bak air tak penuh-penuh” itu? Apa dan mengapa backlog masih menggejala? Apa details kesenjangan antara perencanaan dalam dokumen teknokratis dengan kinerja pencapaian?
Perlu Kesungguhan
Mengutip kilas balik perjalanan perumahan rakyat dalam dokumen The HUD Institute bertitel “Inisiatif dan Transformasi Menuju Zero Backlog Perumahan – 73 Tahun Perjalanan Perumahan Sejak Kongres Perumahan Pertama 25 Agustus 1950”, yang dibuka dengan narasi periode awal sejak Kongres Perumahan di Bandung, telah banyak dibentuk infrastruktur kelembagaan untuk melaksanakan pemenuhan kebutuhan dasar.
Diantaranya, Badan Pembantu Perumahan Rakyat pada tahun 1951; Jawatan Perumahan Rakyat tahun 1952; Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan tahun 1955, serta memberikan penguatan peran Pemerintah Daerah dalam urusan perumahan melalui Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1953. Sehingga tercapai salah satu pembangunan rumah susun Deplu dan PTIK di DKI Jakarta pada tahun 1955 – 1956.
Kembali kepada pesan Mohammad Hatta pada pidato Kongres Perumahan 1950, Proklamator yang memidatokan ‘Indonesia Vrij’ itu mewanti-wanti pentingnya kinerja dan pemihakan yang dibahasakannya sebagai bersungguh-sungguh pada perumahan rakyat! Analog dengan spirit ‘Indonesia Vrij’, perlu percepatan memerdekan Indonsia dari kemiskinan perumahan.
Majelis Pembaca. Kunyahan pertama dalam spirit ‘Sekapur Sirih’, bahwa kelembagaan adalah jurus pertama memerdekakan bangsa Indonesia dari kemiskinan perumahan dalam perkotaan yang semakin mengkota dan konsentrasi manusia. Urbanisasi membutuhkan kesejahteraan dan pasokan perumahan. Urbanisasi yang dirancang menyejahterakan, bukan tanpa intervensi kebijakan budiman.
Selain bertanggungjawab untuk mengurus mandatory perumahan rakyat, negara pun tidak dalam posisi mencari cuan alias laba ikhwal urusan membebaskan kemiskinan perumahan rakyat itu, urusan syarif yang sama tua dan kausalitasnya dengan gagasan ‘Indonesia Vrij’ yang diperjuangkan menjadi proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Membaca situasi dan data backlog, patut menguatirkan masalah struktural difisit perumahan itu bisa diatasi jika tanpa terobosan mendasar.
Satu soal mendasar yang diusung The HUD Institute adalah penyediaan tanah untuk perumahan rakyat-subsider-masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kelangkaan tanah dan harganya yang terus meningkat, perlu intervensi-affirmatif penyediaan tanah untuk perumahan rakyat dengan pemihakan Negara utamanya pemerintah dalam aktualisasi dan transformasi Hak Menguasasi Negara (HMN) yang diturunkan ke dalam wewenang mengatur (regulate; bestemming), dan menyelanggarakan (execution). Mengatur ihwal peruntukan/penggunaan (use), persediaan (reservation), pemeliharaan (maintenance), hubungan hukum orang dengan tanah, perbuatan hukum mengenai tanah, maka transformasi tata kelola perumahan bisa dimulai dengan transformasi kebijakan nasional pertanahan untuk perumahan rakyat.
Kunyahan kedua ‘Sekapur Sirih’ ini, The HUD Institute mendorong dan menyokong rencana nasional (national planning) dan strategi peruntukan tanah (land-used strategies) untuk memenuhi konstitusi berteoat tinggal a.k.a. perumahan, termasuk memastikan bank tanah (land bank) memberi prioritas utama tanah untuk perumahan rakyat-subsider MBR. Bukan asesoris saja dan agenda tambahan belaka.
Merujuk PP Nomor 64 Tahun 2021 tentang Bank Tanah menentukan bahwa bank tanah melakukan pengembangan tanah untuk perumahan dan kawasan permukiman, juga peremajaan kota, pengembangan kawasan terpadu, konsolidasi lahan, pembangunan infrastruktur, pembangunan sarana dan prasarana lain, pematangan tanah untuk mempersiapkan tanah bagi tata kelola usaha bank tanah, proyek strategis nasional, seluruhnya dimaknai sebagai mainstreaming program stretegis perumahan rakyat.
Perihal kerjasama Badan Bank Tanah dengan Pemda ada diatur dalam Pasal 11 ayat (3) PP 64 Tahun 2021, menjadi titik masuk melakukan transformasi tata kelola penyediaan tanah dengan badan bank tanah yakni dengan Pemda, oleh karena perumahan rakyat dan kawasan permukiman merupakan urusan konkuren wajib pelayanan dasar sebagaimana Pasal 12 ayat (1) Huruf d UU Nomor 23 Tahun 2014.
Narasi dimuka untuk mendorong dan meluangkan kebijakan baru transformasi tata kelola penyediaan tanah dengan memerankan badan bank tanah membuat prioritas kerjasama strategis dan utama dengan Pemda dalam melaksanakan urusan perumahan rakyat.
Terkait pula dengan kebijakan belanja daerah (APBD) yang beralasan hukum diprioritaskan untuk urusan konkuren wajib (Pasal 298 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2014), dalam hal ini perumahan rakyat dan kawasan permukiman.
BACA JUGA : Kornas Pera : Waspadai Darurat Pembiayaan Perumahan Rakyat
Dengan transformasi tersebut maka transformasi tata kelola penyediaan tanah untuk perumahan rakyat –yang layak, terjangkau dan berkelanjutan– menjadi bagian strategis rencana induk lembaga bank tanah, mengintegrasikan lingkup tugas dan wewenang Badan Bank Tanah dengan Pemda.
Hal itu mendorong efektifitas transformasi kebijakan penyediaan tanah untuk perumahan rakyat. Dasarnya, menghidup-hidupkan konstitusi bertempat tinggal sebagai generator dan legitimator membebaskan kemiskinan perumahan mengikuti gagasan konstitusi pembebasan (liberating constitution).
Perspektif MBR: Pertimbangan Puncak
Setarikan nafas transformasi penyediaan tanah, akses pembiayaan perumahan rakyat a.k.a MBR menjadi krusial di tengah daya beli dan daya cicil MBR, yang selalu kalah dengan cost of fund dan cost of capital bahkan biaya-biaya katup pengaman “stylist” industri perbankan, sehingga perlu inovasi-efisiensi lembaga pembiayaan bank secara out of the box in the boxes. Kalau tidak, pembiayaan untuk perumahan rakyat –yang merupakan kebijakan sosial (social policy) dan mandatory konstitusi– alhasil masih saja idemdito perlakuan untuk pembiayaan industri komersial. Jebakan itu harus diatasi. Dengan pakem non bank dan menghidupkan lembaga keuangan non bank untuk perumahan MBR, khususnya informal dan pekerja mandiri. Agar tidak ada perlawanan zaman, audit mendalam kinerja sistem pembiayaan perumahan bukan ujaran berlebihan.
Saya soor kali ketika Menteri PUPR Basuki Hadimuljono langsung mengguit bank memangkas bunga KPR non subsidi –yang berimplikasi efisiensi cost of fund KPR MBR. Walau sistem pembiayaan dinormakan dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 (UU PKP) pemerintah perlu menggerakkan “mesin kedua”: lembaga keuangan non bank khusus perumahan rakyat/ MBR.
Kalau perlu konsep hukum dan eksistensi lembaga keuangan non bank dalam UU PKP tak salah jika diuji ketangguhan konstitusionalnya. Semacam meminta pendapat hukum Mahkamah Konstitusi, menerobos dan mempercepat pencapaian zero backlog. Itu bukan hal yang dikuatirkan “Agak Laen”.
Kunyahan ke-3 dan ke-4 dalam ‘Sekapur Sirih’ jujur mengharapkan adanya sokongan kepada perumahan rakyat dalam perspektif rakyat cq. MBR, dengan menguatkan daya beli dan daya cicil serta perlindungan konsumen. Apa gunanya banyak perumahan MBR tanpa daya beli MBR. Apalagi perumahan dalam relasi pertanahan belum mereda atau masih rentan dengan sengketa konsumen versus pelaku usaha, bahkan “kejahatan” dalam relasi perumahan dan properti yang menelusup menjadi penumpang gelap seperti halnya isu mafia tanah.
Walau belum masuk ke dalam skema ekologi pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, perlu kali-lah menata kelembagaan dan urusan Badan Percepatan Pembangunan Perumahan (BP3) yang diamanatkan UU Cipta Kerja, walaupun perlu cermat dan cerdas merumuskannya agar supportif dan tidak mendistorsi tata kelola pembangunan perumahan.
Seperti tamsilan olesan kapur dilekatkan ke helai daun sirih, perumahan lekat bahkan fusi dengan perkotaan. Pakar perumahan Tjuk Kuswartojo mendalilkan perumahan adalah mosaik utama pembentuk kota.
Oleh karena itu, sudah jalan yang benar memormulasi kerangka housing and urban development yang terintegrasi menjadi tantangan Indonesia masa depan yang mencakup kerangka kebijakan, kelembagaan dan urusan, serta pembiayaan.
Untuk maksud itu, dari ‘Sekapur Sirih’ patut menyerap hantaran dan arahan strategis dari Ketua MTO The HUD Instiute, dan meracik pandangan dan analisa Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch (IPW), ke dalam sikap organisasi. Ali yang acapkali analisanya bukan sekadar angka-angka, namun ulaaan mendalam apa dibalik angka, dan kerap akalnya berjalan untuk mendapatkan “feel” disebalik rahasia tak berkata dari data dan angka.
Kritik Ali, kerap kali konsultan properti menyajikan data dan angka, tetapi tidak tahu market dan historical-nya, katanya kepada Bisnis Indonesia (1/1/2022). Ali memang mencemaskan perumahan MBR yang tersisihkan ke pinggir kota karena harga lahan mahal. Dia memahami betapa MBR membidik rumah susun subsidi dalam satu kawasan berkonsep Transit Oriented Development (TOD).
Analog itu, Ali yang menulis buku ‘Hati-Hati Perangkap Properti’ mengguit pemerintah untuk serius memahami “market” dalam hal ini rakyat a.k.a MBR penerima manfaat. Ya.., bukan hanya dalam penyediaan rumah yang layak terjangkau namun ‘abc-xyz’ perspektif MBR yang kerap berada dalam posisi low income trap, rentan informasi asismetris dan berposisi tidak setara dengan pengembang sehingga edukasi dan perlindungan konsumen kudu hati-hati perangkap properti, dan bahkan suaranya tak terdengar pembuat kebijakan.
Oleh karena itu, perspektif MBR –secara etnologis bukan hanya narasi permukaan– menjadi anasir utama bahkan pertimbangan puncak (paramount consideration) pemerintah dalam membuat kebijakan publik perumahan rakyat. Bagi MBR, tepat sasaran tidak cukup namun tepat kebutuhan agar sedian pasar perumahan bak gizi yang sehat diserap, tidak menjadi housing stock yang tak hendak dihuni karena jauh nun di luar tempat bekerja dan susah akses ke kota. Perlu ducatat, salah tiga defenisi perumahan rakyat adalah: akses, akses, akses.
Melalui The HUD Institute, suara-suara yang tak terdengar kaum MBR itu berharga, dan wajar menjadikan perspektif MBR sebagai paramount consideration yang hendak digema-gemakan dalam helat demi helat The HUD Institute, secara formal maupun lobi informal. Itu hal yang patut dijaga di tengah perubahan situasi aktual dewasa ini, termasuk mencermati kebijakan pemerintahan baru nanti, bagaimanakah derap percepatan pembangunan perumahan rakyat?
Seperti kapur melekat pada helai daun sirih, perumahan berada dalam ruang perkotaan menjadi subyek kajian yang inheren dan penting, kini. Terlebih pada era mengkota dan serbuan urbanisasi sehingga kebutuhan atas perumahan perlu disediakan, yang kerap menjadi beban perkotaan sehingga perlu kota berkelanjutan yang tangguh dan mengupayakan pemberdayaan waga kota sebagai tugas yang syarif selain mandatory konstitusi. Saya nekat menyebut dan hendak mengulas Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 adalah kaidah konstitusi kota.
Menguji itu pakar narasumber Rakortas Dr. Wicaksono Sarosa tepat diundang dan telah cermat mengulas pertautan perumahan dan perkotaan yang digeluti tokoh yang kalem namun berisi yang pernah menjabat Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform, dan anggota Policy Unit on Urban Governance di PBB dalam penyusunan New Urban Agenda (NUA). Pak Wicaksono yang menulis buku ‘Kota untuk Semua’ terus mengedarkan pandangan bahwa kota tidak untuk segelintir orang yang punya akses ke ruang kota, tersurat pemihakan kepada semua orang atas kota (city for all) dan menolak penyisihan pun tertinggalnya walau hanya satu warga atas kotanya, karena kita berhak atas kota (right to the city).
Mengingat kota yang tumbuh bagai organ bernyawa, tak berlebihan menyebut kota yang bernyawa itu pun berhak atas kelangsungan hidupnya. Patut saya mengusung kota memiliki kedudukan hukum (legal standing) atas hidupnya.
Kiranya hasil rekapitulasi paparan, diskusi dan masukan dalam helat Rakortas ini menjadi haluan yang tulus untuk menjaga misi yang syarif dari The HUD Institute untuk tabah dan loyal membela hak-hak bertempat tinggal yang layak, terjangkau, untuk semua dan berkeadilan dalam kawasan perkotaan yang inklusif: kota untuk semua. Ikhtiar menjaga tata krama mandatory Negara kepada warga.
Menjaga agar tata krama tetap hidup, inilah pantun penutup. “Jika kapal muat sarat/ Jangan berlayar di musin barat/ Kalau salah kami berbuat/ Mohon maaf dunia akhirat”.
Maaf atas sang khilaf. Ampon atas yang tak santon. Dari rumah negeri digenah. Tabik.
*) Muhammad Joni, S.H., M.H., Sekretaris Umum The HUD Institute