Pembiayaan

Stakeholder Perumahan Kompak Tolak Akuisisi BTN Syariah oleh BSI

Jum'at, 22 Juli 2022 | 21:30 WIB

JAKARTA, KabarProperti.id – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah mengarahkan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) untuk mencaplok BTN Syariah, Unit Usaha Syariah (UUS) PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN). Namun aksi korporasi tersebut mendapat kecaman keras dari masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholder) perumahan karena akan mengancam Program Sejuta Rumah (PSR) yang digagas oleh Presiden Joko Widodo.

Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas-Pera) menegaskan “pencaplokan” tersebut justru memperlemah dan mempersulit akses masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk mendapatkan pembiayaan perumahan khususnya yang berbasis syariah. Hal itu karena BTN Syariah tidak dapat terlepas dari ekosistem pembiayaan perumahan.

“Ingat, perumahan rakyat adalah amanat konstitusi negara Pasal 28H ayat (1) UUD1945. BTN Syariah itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem, kinerja, dan kultur pembiayaan perumahan bersubsidi yang merupakan bagian penting dalam Program Sejuta Rumah,” tegas Ketua Umum Kornas-Pera, Muhammad Joni dalam Talkshow bertajuk “Pencaplokan” BTN Syariah Ancam Program Sejuta Rumah yang diadakan Kornas-Pera di Jakarta, Jumat (22/7/2022).

BACA JUGA :Kornas Pera : Waspadai Darurat Pembiayaan Perumahan Rakyat

Oleh karena perumahan rakyat adalah mandatory konstitusi dan juga program strategis nasional, maka BTN dan UUS (BTN Syariah) harus saling bergandengan tangan. Kornas-Pera, menurut Joni, sangat setuju dengan harapan para stakeholder perumahan bahwa BTN Syariah harus dibiarkan terus berkembang maju dan menjadi bagian dari pembiayaan yang fokus di perumahan.

Selain itu, jika diambil atau dipindahkannya BTN Syariah ke BSI dimaksudkan untuk menyediakan industri perbankan halal yang lebih kuat, maka hal itu harus dilakukan dengan cara yang thoyyib (baik) dan sesuai perundang-undangan.

“Halal tidak titik, tapi harus thoyyib juga. Kalau pemisahan itu menghapus keberadaan  BTN Syariah, itu artinya tidak thoyyib karena menghilangkan sistem, kinerja dan kultur BTN Syariah yang sudah sangat baik,” ujar dia sembari mendorong lebih dibesarkan.

BACA JUGA :Kementerian PUPR : Grand Design Perumahan MBR Sektor Informal Sangat Dibutuhkan

Joni pun meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN tidak melupakan sejarah. Pasalnya, Bung Karno pada 1964 telah mengukuhkan keberadaan BTN dari sekadar bank pos menjadi permodelan institusi pembiayaan perumahan.

“BTN punya roadmap menjadi bank pembiayaan perumahan terbaik di Asia Tenggara tahun 2025. Apakah agenda BTN itu masih relevan dan tidak menjadi backfire apabila diambil alih oleh bank lain,” kata Joni.

Meski pun Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur adanya kewajiban bank umum konvensional yang memiliki UUS harus melakukan pemisahan (spin off), namun syaratnya jika asetnya sudah mencapai 50% dari aset bank induk. Menurut lawyer tersebut, diksi yang dipakai jelas pemisahan, bukan pengambilalihan atau pun penggabungan.

“Pertanyaannya adalah pemisahan kemana? Pasal 68 UU Perbankan Syariah menyebutkan pemisahan UUS dari bank induknya saja. Tidak kepada entitas bank yang lain selain induknya,” jelas Joni.

Masalahnya, pakem norma Pasal 68 UU Perbankan Syariah  diperlebar  oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 59 tahun 2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemisahan UUS  yang justru memperbolehkan pemisahan UUS dari bank induknya atau ke bank lain yang bukan induknya.

POJK ini, kata Joni, jelas kebablasan, karena mandat itu melampaui norma Pasal 68 UU Perbankan Syariah yang jelas dan tegas.

“Pendapat kami kalau pun dilakukan spin off, maka biarkan dia berdiri sendiri. Biarlah dia punya legal standing sebagai bank fokus pembiayaan perumahan dan fokus misi konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945,” kata Joni.

Apalagi secara kinerja dalam penyaluran KPR FLPP bersubsidi, kalau BTN dan BTN Syariah digabung kontribusinya sudah mencapai 66 persen (data BP Tapera). Kalau diarahkan ke bank yang kinerja penyaluran KPR FLPP hanya 3 persen, tentu tidak logis dan tidak thoyyib.

Kalau pemerintah ingin mengembangkan kapitalisasi BSI, maka caranya bukan dengan mengambil BTN Syariah karena tidak akan ada efeknya juga karena secara aset BTN Syariah tidak besar yakni sekitar Rp37 triliun-Rp38 triliun.

Jika ingin meningkatkan kapitalisasi perusahaan BUMN, tegas Joni, justru lebih baik bubarkan Kementerian BUMN dan lakukan agenda super holding BUMN.

Oleh karena itu, Kornas-Pera menyatakan sikap sebagai berikut.   Pertama, tetap pertahankan dan besarkan BTN Syariah sebagai bank  syariah yang fokus pada misi teknis pembiayaan perumahan dan misi juridis konstitusional.

Kedua, menolak langkah pemisahan BTN Syariah dari bank konvensional induknya yang mengakibatkan hilangnya BTN Syariah yang bersama-sama dengan BTN konvensional sudah membuktikan eksistensi, kapasitas, kapabilitas dan kompetensinya sebagai bank fokus pembiayaan perumahan rakyat bagi MBR.

Ketiga, Kornas-Pera menyiapkan upaya hukum dan juridis konstitusional untuk mempertahankan atau membesarkan BTN Syariah.

Nasib Rakyat

Sementara itu, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Junaidi Abdillah mengatakan kegelisahan timbul ketika isu merger atau akuisisi BTN Syariah oleh BSI. Pasalnya, realisasi KPR termasuk KPR FLPP untuk rumah subsidi rata-rata berada di BTN dan BTN Syariah. Sementara kontribusi BSI hanya 3%.

“Pemikiran kita, bagaimana nasib rakyat yang ingin KPR BTN Syariah dialihkan dengan paksa? Hak konstitusi nasabah dan rakyat dipaksa untuk berpindah tanpa mengajak musyawarah terlebih dulu. Jadi ada hak konstitusi rakyat di situ,” ujar Junaidi.

APERSI sepakat dengan cita-cita PSR dan pemulihan ekonomi nasional pasca Covid-19 yang dilakukan pemerintah. Semangat Presiden Jokowi tersebut harus didukung penuh oleh semua pihak termasuk Kementerian BUMN.

“Jangan malah gaduh dan menghambat semangat pemulihan ekonomi,” tegasnya.

Kegelisahan pengembang itu logis, mengingat ke depan juga tidak ada kepastian jika BTN Syariah sudah dipindah ke BSI, bagaimana pelaku usaha properti dapat memperoleh kredit konstruksi dan kredit pembebasan lahan. Pasalnya, bank yang sudah merger saja sampai sekarang belum solid.

“Apersi menilai, jangan mencaplok bank yang sudah berjalan dengan baik. Selain itu, perlu diingat bahwa satu penggerak ekonomi adalah pengembang dan 90 persen sektor properti ini melibatkan tenaga padat karya,” kata Junaidi.

Pengambilalihan BTN Syariah ini juga menjadi isu yang sensitif karena bank yang mau mengambil adalah bank fokus pembiayaan UMKM.

Sementara itu, Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mendesak pemerintah mempertimbangkan secara matang rencana akuisisi BTN Syariah oleh BSI. Pasalnya, BTN Syariah adalah satu-satunya bank syariah yang fokus di perumahan.

“Kalau nanti BTN Syariah digabung atau dilebur ke bank lain, maka tinggal BTN konvensional sendirian yang fokus pada pembiayaan rumah subsidi. Padahal persentase penyaluran KPR FLPP bersubsidi justru seharusnya ditambah termasuk bank fokusnya,” ujar Totok.

Dia pun khawatir, kalau tidak ada BTN dan BTN Syariah siapa yang akan memberikan kredit konstruksi dan kredit pembebasan lahan. Padahal mayoritas developer rumah subsidi adalah UMKM. Karena itu, kata Totok, jika tidak ada kredit untuk developer rumah subsidi maka tidak akan ada yang akan merealisasikan pembangunan rumah rakyat.

“Sekali lagi ini mohon dipertimbangkan ulang, sehingga pembiayaan perumahan terlebih untuk MBR tidak mengalami stagnasi. Pengadaan rumah rakyat ini dijamin konstitusi dan mayoritas yang membutuhkan adalah para pekerja/buruh,” sebut Totok.

Pekerja memang menjadi salah satu MBR yang berharap tetap ada konsistensi pembiayaan perumahan.

Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Pramuji Hari Purnama menyebutkan sesuai hasil Kongres V KSPI mendorong kepemilikan perumahan menjadi satu dari tiga program prioritas KSPI.

“Penciptaan kesejahteraan buruh tidak cukup hanya sandang dan pangan saja, tetapu juga papan,” jelasnya. Sejauh ini, KSPI melihat hanya BTN yang berbicara tentang pembiayaan untuk rumah MBR. Sampai hari ini bahkan banyak pekerja tinggal yang disebut Rumah BTN.

“Program Sejuta Rumah ini sangat masuk akal karena dari jumlah pekerja tetap saat ini masih banyak yang belum punya rumah. Karena itu, KSPI berharap eksistensi BTN termasuk BTN Syariah di dalamnya tetap dipertahankan,” harap Pramuji.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button