Market

Inilah Jeritan Pengembang yang Makin Sulit Bangun Rumah Subsidi

Selasa, 17 Maret 2020 | 19:00 WIB

JAKARTA, KabarProperti.id – Kebutuhan akan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) terus meningkat. Namun sayangnya untuk memenuhi kebutuhan rumah yang bisa diperoleh dengan subsidi pemerintah tidak semudah membalikan telapak tangan. Banyak kendala yang dihadapi para pengembang yang membangun rumah subsidi.

Dalam diskusi yang digelar Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) bertema “Quo Vadis Subsidi Perumahan Rakyat” di Jakarta, Selasa (17/3/2020) para pengembang yang diwakili oleh organisasi pengembang  menyuarakan jeritan tentang makin sulitnya membangun rumah subsidi saat ini.

Organisasi pengembang tersebut yakni Real Estate Indonesia (REI), Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himpera), Aliansi Pembangunan Perumahan Nasional (Apernas) Jaya.

Mereka mendesak agar Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) segera mengambil langkah-langkah kongkret untuk meyelesaikan permasalahan yang membuat industri perumahan rakyat kalang kabut sehingga agar mengancam program Sejuta Rumah. Apa saja?

Ketua Umum REI Totok Lusida menyebut kendala terkait aturan teknis terkait pembangunan perumahan bersubsidi yang nantinya akan mendapatkan alokasi subsidi selisih bunga (SSB) dan subsidi bantuan uang muka (SBUM).

“Selalu berubah spesifikasi bangunannya di saat proses pembangunan sudah berlangsung. Padahal pengembang sudah selalu mencoba mengikuti ketentuan yang ada. Namun kebijakan di level Ditjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR selalu datang mendadak dan tidak ada masa transisi,” kata Totok.

Totok mengaku sangat kecewa sebab hal itu akan merugikan pengembang. Bahkan apabila unit sudah terbangun, pihaknya akan kesulitan untuk menjual rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) lantaran konsumen terancam tidak akan mendapatkan subsidi dari pemerintah apabila tidak memenuhi ketentuan dan spesifikasi yang ditetapkan. Padahal sejak awal pembangunan perumahan bagi MBR sudah mengikuti aturan sebelumnya.

Data REI, pada tahun 2019 lalu progres pembangunan rumah bersubsidi yang dilakukan oleh REI mencapai 177.240 unit. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2018 atau 2017. Tercatat tahun 2018 capaian pembangunan perumahan bersubsidi mencapai 214.686 dan di tahun 2017 mencapai 206.287 unit.

Pembeli sedang melihat rumah subsidi yang sedang dibangun, Foto : Santo

FLPP Jangan Sampai Hilang atau Dilebur

Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaja mengatakan bahwa FLPP jangan sampai hilang atau dilebur. Salah satu alasannya adalah agar FLPP bisa dimanfaatkan seluruh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), bukan hanya oleh ASN (Aparatur Sipil Negara).

“Kalau mau hilangkan FLPP, sekalian saja semua subsidi dihapus. Pemerintah tetapkan saja harga minimal, nanti pengembang dan perbankan biar cari cara sendiri supaya orang tetap bisa beli rumah dengan harga murah,” katanya .

Endang berharap agar FLPP bisa tetap menjadi tulang punggu subsidi perumahan. Pasalnya, skema tersebut merupakan yang paling relevan bagi kondisi MBR di Indonesia saat ini.

“Pemerintah sepertinya tidak mendukung penuh, walaupun sudah ada komitmen dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menambah anggaran FLPP. Tapi belum ada statement yang langsung dinyatakan oleh Kementerian PUPR terakit penambahan kuota FLPP untuk tahun ini,” kata Totok.

Aplikasi  dan SiKumbang Mubazir

Ditambahkan Ketua Umum Apersi, Junaidi Abdillah, kebijakan lain yang juga dirasakan menghambat para pelaku di industri properti adalah adanya sistem atau aplikasi perumahan.

Sistem Informasi KPR Subsidi Perumahan (SiKasep) dan Sistem Informasi Kumpulan Pengembang (SiKumbang) yang diluncurkan Kementerian PUPR pada Desember 2019 lalu dinilai mubazir dan ternyata justru menyusahkan pelaku usaha.

Menurutnya adanya sistem ini kerap eror sehingga KPR tidak segera cair. Bahkan parahnya lagi data-data konsumen kerap hilang dari sistem yang pada akhirnya membuat pengembang tidak bisa segera menyalurkan rumah bersubsidi tersebut.

Akibatnya kerap terjadi persoalan hingga ancaman pidana antara pengembang dengan konsumen. Padahal hambatan penyaluran perumahan ini terjadi karena sistem tersebut sering bermasalah.

“Kalau ini dibiarkan terus menerus bagaimana nasib MBR? Kalau pemerintah memang sudah nggak mampu memberikan subsidi, bilang saja. Nanti biarkan perbankan dan pengembang berkreasi sendiri. Sebab perumahan itu kan tanggung jawab pemerintah. Kita mau bantu malah dibunuh ini namanya, ini suatu yang aneh,” kata Junaidi.

Dia juga mendesak agar Kementerian PUPR melalui Ditjen Penyediaan Perumahan segera merespons kebijakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang menyatakan siap menambah alokasi subsidi sebesar Rp1,5 triliun.

Sebab Junaidi melihat gelagat dari pemerintah teknis, khususnya di lingkungan Kementerian PUPR, tidak serius untuk mengesekusi dana tambahan subsidi tersebut. Pasalnya berbagai aturan-aturan baru bermunculan yang arah kebijakannya cenderung ingin menggagalkan alokasi subsidi tambahan tersebut.

Seperti diketahui bahwa pemerintah tahun ini mengalokasikan dana subsidi untuk membangun perumahan MBR sekitar Rp11 triliun untuk 102 ribu unit.

Namun anggaran tersebut diperkirakan hanya cukup untuk membangun 97,7 ribu unit sebab Rp2 triliun telah terpakai untuk menutupi kekurangan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan ( FLPP ) tahun 2019.

Akibatnya dana yang tersedia hanya akan mencukupi sampai April 2020 mendatang. Oleh sebab itu pengembang membutuhkan dana subsidi tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut.

“Kalau kita perhatikan Menkeu sudah berikan tambahan keuangan tapi kementerian PUPR tidak ada statemen lanjutan, itu artinya dia nggak sanggup. Makanya buat aturan-aturan yang menjegal,” pungkasnya

Pembeli rumah subsidi dari kalangan milenial, Foto : Santo

Kurangnya Kepedulian Pemerintah

Ketua Umum Apernas Jaya, Andre Bangsawa mengatakan, penanganan pengembangan perumahan subsidi bagi msyarakat berpenghasilan rendah (MBR) harus mempunyai hati kemanusiaan.

“Pemerintah dan perbankan, dalam hal ini Bank Tabungan Negara (BTN) harus punya hati kemanusiaan. Kalau penanganannya secara arogansi hancurlah sudah. Kasian MBR,” papar Andre.

Sementara itu, Wakil Ketua Komite IV DPD RI Sukriyanto mengungkapkan bahwa, pihaknya secara terus menerus telah menggelar rapat dengan DPR terkait penambahan anggaran untuk perumahan subsidi melalui skema FLPP.

Dijelaskan Sukriyanto, kurangnya kepedulian pemerintah terhadap pengembangan perumahan subsidi bakal menjadi bumerang bagi pemerintahan saat ini.

“Segala masukan telah kami sampaikan kepada DPR termasuk meminta agar menindaklanjutinya dengan Kementerian PUPR. Kita harap segera adanya kreasi penambahan kuota. Bukan harus menambah APBN, tapi bagaimana kuota yang ada itu bisa menambah peluang bagi rumah yang lain,” katanya.

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button