Guyuran Rp40 Triliun dari Qatar untuk Rusun Perkotaan: Apa Housingnomics yang Tak Boleh Gagal?
Oleh: Muhammad Joni, S.H., M.H. - Advokat; Sekretaris Majelis Pakar The HUD Institute

JAKARTA, KabarProperti.id – Langit-langit kota kini disorot terang bukan oleh bintang, pun bukan lintasan cahaya rudal melesati malam; melainkan oleh uang Qatar –negara kaya nan Budiman. Tepatnya, Rp40 triliun yang datang dari Qatar itu bukan hanya mencair tapi telah mengguyur pundi ke fiskal negara untuk pembangunan 50.000 unit rumah warga kurang berpunya.
Diwartakan, angka itu masih tahap pertama. Tapi pertanyaan pertamanya, kalau negara kolaborasi dengan negara, duit dan rumah-rumah itu untuk siapa?
Apakah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)? Ataukah turut dibuka belieds kombinasi untuk sebagian kalangan non-MBR, dan pembeli komersial? Pembangunannya menyertakan developer domestik-lokal, profesional properti, atau kelompok investor berakses tinggi?
Terkait ini, pihak Qatar juga membentuk tim yang melibatkan dukungan Danantara, PT Bank Tabungan Negara (BTN), Kementerian PKP, PT China Communications Construction Indonesia, Risjadson Land dan Director, DLS Consultancy Pte. Ltd. Apakabar peran pihak developer domestik Indonesia? Adakah skema investasi sahabat Qatar ini cikal bakal jurus ekonomi perumahan (housingnomics) menjawab masalah struktural kesenjangan hunian?
BACA JUGA : Haluan Perumahan dan Kawasan Permukiman yang Membuat Rakyat Tersenyum
Pembaca. Sebab sejarah biautifikasi kota selalu menyimpan luka, bahwa saat dana besar datang, janhan sampai yang tersingkir justru yang paling miskin walaupun tinggal paling dekat “nempel” lokasi proyek.
Duit baru Rp40 triliun bukan angka kecil, bahkan segar wal bugar. Tapi dalam dunia investasi hunian di perkotaan, jumlah itu bisa menjadi sangat besar atau sangat kecil, tergantung niat politik dan arsitektur kebijakan. Karena tren pertumbuhan tubuh molek kota setarikan nafas adalah episentrum pertumbuhan ekonomi kota (urban economic).
Jika proyek ini berdiri di atas tanah milik negara atau BUMN, maka harus ada batas etik dan hukum: jangan sampai tanah BUMN yang hendak dijadikan tapaknya malah tergerus dari daftar aset dan berubah menjadi portopolio swasta, atawa investasi apartemen komersial. Bukan murni 100% demi hunian warga MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) yang konon motif minat investor negara sabahat Qatar yang kaya raya lagi budiman.
Harus kita ingat: tanah publik yang diplot untuk kepentingan publik a.k.a MBR bukan tempat praktik bisnis privat 100%. Bahkan perlakuan pajak untuk yang target group MBR pun dikurangi sampai semua ditanggung negara.
Bila tanah BUMN dipakai, wajib hukumnya proyek ini memenuhi standar intervensi kebijakan sosial yang dijamin UU No. 20/2011 tentang Rumah Susun, dan UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim).
BACA JUGA : Keajaiban Senen, Beli Apartemen dapat Kereta
Kedua UU ini menjamin “Bantuan dan Kemudahan” seperti: Insentif fiskal, Keringanan PBG, Subsidi pembangunan, Kemudahan perizinan, sampai Akses fasilitas umum dan sosial.
Tapi dalam praktiknya, jargon “Bantuan dan Kemudahan” misalnya subsidi pembiayaan atas bunga pasar, kerap berujung pada kemudahan investor juncto developer, bukan masuk ke kocek MBR.
TOD Berkeadilan?
Jika proyek ini nantinya dijulangkan menjadi Rusun MBR, maka patut mengingatkan beleids TOD (Transit-Oriented Development) — yakni hunian yang terintegrasi dengan stasiun LRT, MRT, atau KRL — maka kita perlu bertanya: Apakah ini TOD untuk MBR, atau TOD yang dalam diam membuka peluang masuknya spekulan?
Sebab jangan sampai, hunian berkonsep TOD menjadi alat pencabut akar warga lokal. Warga asli disingkirkan secara halus dengan harga tanah yang melambung karena tak di kunci land freezing, aneka harga dan tarif tinggi seperti parkir mencekik penghuni, harga jual dan sewa yang tak terjangkau, tarif iuran pengelolaan yang mahal dan dibuat makin beragam, dan pajak daerah yang membebani.
Sebab itu harus dibangun TOD Berkeadilan, dengan prinsip: Akses langsung MBR ke transportasi publik, prioritas hunian bagi warga sekitar, perlindungan dari dislokasi dan penggusuran
Soal lain, pastikan skema Kepemilikan bangunan Rusun itu SKBG bukan SHM SRS. Apakah Rusun yang dibangun dengan dana Qatar itu akan dijual per unit dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Satuan Rumah Susun (SRS)?
Jika iya, maka proyek ini akan menjadi ladang liberalisasi tanah vertikal.
Karena SHM SRS berarti: tanah milik bersama, dan dapat dijual, diwariskan, atau dikomersialkan yang kini masih tanpa kontrol.
Usul saya: gunakan skema SKBG (Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung) di atas tanah negara.
Kelebihannya? Tanah tetap milik negara, Bangunan bisa dimiliki (secara terbatas), Banngunannya dapat ditransfer atau dijadikan agunan dengan kebijakan bankable policy dari Bank Indonesia
Namun SKBG saat ini masih lemah secara legal, maka perlu Revisi UU Rumah Susun untuk memperkuat legalitas dan fleksibilitas SKBG sebagai instrumen legal pemilikan hunian rakyat.
Asset Management Tanah
Jika proyek ini memakai tanah BUMN, maka pengelolaan Rusun pun apartemen milik nya jangan diserahkan ke PPPSRS (Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun) “swasta” model sekarang. Namun dikelola pada tahap awalan oleh pengelola profesional berpengalaman nasional yang melakat mandatory otoritas Aset Manajemen.
Kenapa? Karena: Banyak kesan PPPSRS belum matang. Juga, potensi konflik horizontal tinggi dan rawannya “drama” voting dan dominasi pihak tertentu dengan gaya lama.
Sebagai solusi, ijinkan saya mengusulkan dibentuk Asset Management (AM) Tanah dan Bangunan, yang diperkuat mandatnya dengan UU. Dengan perubahan UU Rusun 2011.
Apa tugasnya? Antara lain berikut ini: Mengelola tanah negara atau BUMN yang digunakan untuk rusun rakyat; Mencegah komersialisasi tanah dalam arti luas, termasuk mematok harga tanah pasti (fixed) terkendali; Memberikan rasa aman hukum bagi penghuninya; Menjamin kesinambungan fungsi sosial tanah yang dipatok idiologi negara dalam ajaran hukum UU Pokok Agraria.
Housing Code
Pemerintah perlu menerbitkan Housing Code atau Kode Etik Tata Kelola Hunian Vertikal, yang memuat Standar minimum kelayakan, pengelolaan air, sanitasi, sampah, manajemen keamanan dan kehidupan sosial, juga sistem demokratis dalam pengambilan keputusan PPPSRS.
Tanpa pengaturan yang kuat, Rusun dikuatirkan akan menjadi rimba raya beton penuh konflik sosial dan hukum.
Esai ini menyodorkan tiga pertanyaan kritis;
Pertama: Bagaimana melibatkan peran pengembang MBR lokal/domestik? Jangan sampai proyek ini hanya dimaksudkan untuk konglomerat asing dan developer elite. Akankah syarat itu layak masuk daftar yang dinegosiasikan?
Pemerintah harus membuat skema kolaboratif agar pengembang domestik-lokal bisa kiranya turut ikut membangun sebagian, entah yang pekerjaan besar pun hanya “tipis-tipis”. Berbagi peran dan cuan, alih teknologi dan etika bisnis pro konsumen MBR, bisakah dijadikan alasan?
Kedua: Apakah proyek ini berkolaborasi dengan kebijakan dan dana plus tanah milik daerah? Misalnya DKI Jakarta yang mengusung konsep: “Jakarta Tumbuh ke Atas”. Atau, kawasan pengembangan wilayah ‘Mebidangro’ – Medan Binjai Deli Serdang dan Karo– jikalau itu masih ada.
Kalau tidak sinkron, maka proyek ini akan jadi menara eksklusif pusat di tengah kelangkaan investasi hunian langsung ke daerah dan kota-kota, mungkin saja terkecuali Jakarta.
Ketiga: Apakah dana Qatar ini tak menggarap agenda konseptual Satgas Perumahan masuk mengusung Subsidi Produktif untuk perumahan komunitas di perkotaan? Karena jika dana triliunan ini dianggap “cukup”, maka ada potensi menggulirkan a.k.a reinvestasi skema Subsidi Produktif –dari dedikasi budiman negara yang pro sosial bakal tak kan dihentikan? Sehingga jurus bauran prososial dan ekonomi MBR dengan skema manjur dana bugar Qatar ini tak boleh gagal! Malah kudu digulirkan.
Epilog
Namun, dana segar bugar dan jumbo Rp40 triliun bisa jadi berkah, tapi bisa juga jadi soalan baru: urbanisasi baru yang tak terlalu produktif. Itu wajar karena menjadi hukum besi derap mesin ekonomi seperti tamsilam: ada gula datanglah semut. Bila tata kelola, keadilan, dan keberpihakan tidak dijaga, maka langit kota akan penuh beton, tapi bumi pertiwi akan kehilangan senyum rakyatnya.
Di titik inilah, jiwa pro MBR dan etos negarawan yang mengutamakan kesejahtetaan perumahan rakyat kudu hadir mengawalnya.
Saran saya otoritas publik dan konsumen seperti Satgas Perumahan maupun tokoh The HUD Institute bisa menyumbangkan kepakarannya dalam hal perencanaan, policy development dan public housing development: pembangunan, pengelolaan, penghunian, pendampingan, bahkan pemberdayaan.
Selain beleids ini pengalaman baru dan skema out of the big box yang menghadirkan peran negara dan investor negara sahabat budiman Qatar, maka berjanjilah: tak ada cerita gagal!
BACA JUGA : Dari Gulanomics Kotabaru Yogja, Desak Perubahan Perkotaan Indonesia Forever
Para pejabat pem Dari Gulanomics Kotabaru Yogja, Desak Perubahan Perkotaan Indonesia Forever bantu Presiden kudu mendukung 100%: satu suara, satu sikap, satu policy, satu tindakan. Karena ini monumen kemenangan besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memenangkan hati rakyat, dan dikucuri “subsidi” ridho Tuhan.
Dengan kerja cerdas membebaskan warga dari jeratan struktural kemiskinan perumahan. Demi membuat rakyat nguyu; tersenyum! Juga, agar Negara Kesejahteraan tersenyum dengan memenuhi “tagihan” konstitusional, karena itu tidak lagi menjadi pilar goyah yang terbelit persoalan rumah.
Yth. Presiden Prabowo Subianto, selama ini publik bisa sabar, tabah dan loyal pada cita-cita hunian layak yang tertunda, mengapa tidak gebrakan gercep prososial menuju Indonesia Emas –yang bermula dari daya ungkit rumah layak yang berkelas. Dengan syarat negara hadir dengan aparatur pemerintahan yang full credibel.
Percayalah, dan saatnya membuktikan jurus “idiologis” yang kudu diracik apik sebagai Subsidi Produktif hunian perkotaan ini: dari pembangunan rumah, ekonomi negeri bisa membuncah. Inikah cikal housingnomics ala Presiden Prabowo? Jurus perumahan rakyat yang tak boleh gagal! Tabik.




